Ayah, aku menyayangimu

81 3 0
                                    

Rey masih bungkam, pandangannya tak beralih sedari tadi. Meski ia menatap ke luar, tetapi pikiran entah ada di mana. Eza yang sedari tadi di depan kemudi berulang kali melirik sang adik. Dari pantulan kaca, ia bisa melihat tatapan Rey masih sama, kosong.

Eza kembali memancing adiknya untuk bersua, tetapi sayang tak ada respon seperti yang diinginkan. Hening dan dingin menjadi teman selama perjalanan menuju Sentani. Rey yang sedari tadi tenggelam dalam pikiran, tersadar dan bertanya, "Kita mau ke mana?"

Eza tersenyum mendengar suara adiknya meski hampir tak terdengar. "Jalan-jalan."

"Aku tak butuh jalan-jalan."

"Kamu membutuhkannya, Rey. Mungkin tidak akan membuat suasana hatimu lebih baik, tetapi setidaknya kamu melihat sesuatu yang beda."

"Bagiku, semua tempat sama saja. Tak ada yang menarik, bahkan rumah."

Eza menghela napas panjang. "Kenapa kamu begitu terobsesi untuk mati. Tahukah kamu bahwa akan ada orang yang bersedih akan kehilanganmu?"

Rey tersenyum sinis. "Mereka hanya menangisiku beberapa hari lalu melupakanku seolah tidak pernah ada."

Eza menginjak rem ketika sudah berada di tempat yang dituju. Bukit tungku wiru. Meskipun baru sekali mendatanginya, tetapi ia ingat betul dengan jalanan Jayapura yang tak seribet di Jakarta.

Setelah mematikan mesin mobil, Eza menatap sang adik dengan sorot sendu. "Kakak mohon, jangan pernah mengatakan hal itu, Rey. Aku tahu, apa pun yang Kakak katakan akan percuma saja, tetapi perlu kamu tahu. Kamu adalah segalanya bagiku, Rey."

Tak ingin mendebat, Rey masih pada posisi semula, bungkam dan berusaha melupakan ucapan yang begitu memuakkan baginya. Padahal, kalimat itu yang begitu dinantinya, dulu. Entah mengapa, sekarang berubah menjadi basa-basi dan tak memiliki arti. Ia sudah melupakan arti keberadaannya kala rasa tak berharga kembali datang. Hanya perasaan muak pada dunia, takdir juga orang-orang yang terus menyuruhnya bertahan.

Rey beranjak membuka pintu, ketika tangan Eza menahan, membuatnya menutup kembali pintu.

"Ada hal yang ingin Kakak tunjukkan padamu." Eza merogoh saku celana dan mengeluarkan salah satu ponselnya. "Sebenarnya, Kakak tidak mau menunjukkan ini padamu, tetapi sepertinya tak ada cara lain."

Setelah membuka layar, Eza membuka salah satu file dan berkata, "Apa kamu tahu? Ini adalah ponsel Ayah." Eza menatap adiknya sebelum menekan tombol play.

Rey yang tadi tak berminat untuk tahu apa yang akan dilakukan sang kakak, seketika terpaku. Meskipun berpuluh tahun telah terlewat, ia tidak bisa melupakan suara yang telah memberinya luka dan penghakiman. Ia membeku begitu suara ayahnya berulang kali memanggil namanya. Pelupuk mata tiba-tiba mengembun dan ia menggigit bibir, menahan kerinduan yang teramat sangat. Sudah bertahun-tahun berlalu sejak ia bersandiwara dan menghilang, pergi meninggalkan keluarga yang pernah memberinya luka dan berharap sang ayah menyesal lalu mengakuinya sebagai anak.

Rey menutup wajah dengan tangan kiri, tubuhnya bergetar ketika kalimat demi kalimat keluar dari speaker ponsel ayahnya. Pengakuan yang begitu ditunggu olehnya seumur hidup. Namun, kini, tak ada lagi raga yang bisa direngkuh seperti inginnya sejak dulu. Semua sudah terkubur, tertimbun penyesalan yang menutupi seluruh jiwa.

Rey menutup wajah dengan kedua tangan dan terisak. "Ayah," panggilnya berulang. "Maafkan, Rey."

Eza mengusap bahu Rey yang terus bergetar. Ia tahu betapa sayang adiknya pada lelaki bergelar ayah. Meskipun sepanjang hidup hanya luka juga pengacuhan yang selalu diberikan, tetapi jauh di lubuk hati. Ia hanya berharap satu hal, pengakuan bahwa dia adalah bagian dari keluarga.

"Ayah berharap bisa mengulang waktu. Memberikan hal yang seharusnya ayah lakukan. Maafkan, Ayah. Seharusnya, Ayah mengatakannya sejak dulu. Pulanglah, Rey."

Tepat ketika suara dari ponsel berhenti, Rey tak bisa menghentikan tangisannya. Ia terisak dan seluruh kerinduan yang pernah ada kembali berhamburan.

"Aku tahu, kamu belum sepenuhnya memaafkan Ayah. Maka, lepaskan masa lalu dan rasa sakitmu. Ayah menyayangimu, Rey." Eza menjeda kalimatnya, merasakan keharuan yang menelusup dalam dada. Mengingat waktu di mana ia dan sang ayah terus bermandikan penyesalan dan berharap bisa menebus suatu saat. Sayang, rasa sesal yang terus merongrong jiwa tua ayahnya, membuat tak kuat menghadapi hunjaman lara dan memilih meninggalkan dunia. "Ayah terus mengulang kalimat itu dan memanggil dirimu, berharap saat itu kamu ada di sisinya."

Rey membungkukkan tubuh dan terus memanggil nama sang ayah.

Eza membiarkan Rey terisak dan mengeluarkan rasa yang menjadi hulu dari semua rasa sakit. Rasa cinta.

Hampir setengah jam, Rey terisak. Meluapkan kerinduan yang membuncah dalam dada. Mengalirkan rasa sakit yang selama ini dipendamnya.

YYYY

"Di mana, Rey?" tanya Ray ketika datang sore hari pada Eza yang tengah duduk di teras rumah.

Menyambut lelaki yang begitu menampakkan kegelisahannya, Eza bangkit dan menghampiri. "Dia sedang istirahat."

"Kenapa kamu tidak menemaninya?" Ray terlihat sedikit sewot, ia berjalan masuk dengan sedikit tergesa.

"Aku yakin dia baik-baik saja setelah ini."

Ray tidak memperdulikan Eza yang masih di belakangnya. Gegas, ia masuk ke kamar, melihat Rey yang terlelap dengan napas yang teratur. Ia mendekat dengan sedikit berjingkat dan memperhatikan Rey yang tidur dengan nyenyak. Puas memandangi, Ray memutar tubuh dan menutup pintu kamar sepelan mungkin sebelum kembali menemui Eza.

"Apa yang sudah kamu lakukan?" tanya Ray penasaran.

Eza membuat kopi dan memberikan pada Ray yang duduk di kursi bar. Di seberang tembok, terdengar suara Mei yang baru saja mengajak bicara Arkha seolah sang bayi sudah paham.

"Jujur, aku tidak tahu apa ini akan berhasil atau tidak." Eza berjalan memutari meja bar dan duduk di dekat Ray yang menatap penuh keingintahuan atas apa yang telah terjadi. "Sejak dulu, Rey hanya membutuhkan pengakuan dari Ayah." Eza menjeda kalimatnya dan menyeruput kopi hitam yang sudah beberapa hari menemaninya.

"Aku baru tahu saat Ayah meninggal. Ia meninggalkan banyak sekali rekaman penyesalannya dam aku selalu membawanya selama ini, menyimpannya agar menjadi pengingat bahwa ada dosa besar di pundakku."

Dahi Ray mengerut, paham dengan cara yang baru saja dilakukan oleh Eza.

"Baik aku maupun ayah, hidup dalam kubangan penyesalan. Setiap hari Ayah meracau dan meminta maaf. Begitu pula dengan diriku, yang selalu berharap akan ada waktu untuk menebus semua luka yang sudah kami torehkan." Eza meletakkan cangkir kembali di meja lalu menghela napas.

"Menurut kita, pengakuan memang tidak diperlukan karena tanpa diminta orang tua sudah memberikannya. Lain halnya bagi Rey, itu sangat berarti." Eza menghela napas. Pandangannya menerawang jauh. "Aku sudah meminta Mei, untuk tidak memaksakan untuk mendekatkan Rey dengan Arkha."

"Aku tidak paham. Padahal Rey bisa akrab dengan Nia dan anak kecil yang lainnya?" Ray tak terima mendengar pendapat Eza, mengingat selama ini Rey tidak pernah bermasalah dengan anak kecil.

Eza melirik lelaki yang berada di sampingnya sebelum memilih kalimat. "Apa kamu lupa? Berapa tahun Rey bertahan dengan segala sikap dan sumpah serapah Ayahku? Tentu ia tidak akan marah karena mereka bukan anaknya." Ia mengaitkan kedua tangan dan meletakkan di depan wajahnya. "Aku yakin, sikap dan sifat Ayah masih tersisa di alam bawah sadar. Rey menyadarinya dan dia memilih menjauh dari anaknya agar monster dalam dirinya tidak mengambil alih seperti kemarin."

"Jadi kamu bermaksud untuk menjauhkan Rey dari Arkha selamanya?"

"Tidak selamanya, hanya menunggu waktu hingga Rey bisa menjinakkan monster dalam dirinya. Berdamai dengan rasa sakit. Semua tergantung dari dirinya, tetapi aku yakin dia akan melewatinya."

"Ya, dia akan melewatinya."

Cinta di atas luka(Seri Ketiga Buah Kebencian Untuk Ayah) ; Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang