ekstra part

149 7 0
                                    

Rey keluar dari mobil dan Arkha berlari menyambutnya. Sembari mengulas senyum, Rey memeluk putra kecilnya dengan penuh kasih sayang dan menggendongnya masuk. Mei berjalan mendekat dan mencium pipi suaminya dengan muka masam.

“Kenapa? Minta gorengan? Tadi nggak bilang!” tukas Rey, seolah tahu apa yang dipikirkan istrinya.

“Bukan!” bantah Mei ketus.

“Terus apa?” Rey jadi heran.

“Cemburu sama Kakak.” Wanita itu memalingkan wajah.

“Ko bisa?” Alis Rey bertaut.

Lelaki itu tak habis pikir mengapa istrinya mengatakan hal tersebut. Ia berjalan menuju sofa, duduk, meregangkan tubuh yang lelah setelah seharian bekerja. Rey meletakkan Arkha di sampingnya dan menggenggam tangan Mei yang rewel sejak beberapa hari ini.

“Arkha tanya Kakak mulu. Kalau aku pergi nggak pernah ditanyain. Kakak terus! Pokoknya besok yang di perut ini harus cewek!” protes Mei yang manyun.

Rey terkekeh mendengar curhatan istrinya. Hamil kali ini memang membuat hati Mei lebih sensitif, tidak seperti sebelumnya. Entah semua karena Rey yang kembali menjadi dirinya sendiri atau memang hormon kehamilan yang menjadikannya rewel.

“Nggak usah, nggak pa-pa. Biar yang cantik Mei seorang.” Rey mencubit gemas hidung istrinya.

“Pokoknya harus ada ceweknya. Kalau nggak, bikin terus sampai dapat!” Mei kembali memanyunkan bibir, lalu mendengkus kesal hingga Arkha melihat apa yang sebenarnya terjadi.

“Emang nggak capek hamil terus?” goda Rey.

“Capek itu kalau yang ditanyain Kakak terus, Mei kagak. Bikin sebel. Emaknya yang susah payah, keluar wajahnya mirip Kakak, terus nempelnya sama ayahnya terus! Sumpah, bikin jengkel!” Mei mengeluarkan segala kekesalan.

Rey terkekeh kembali melihat istrinya yang berubah kekanak-kanakan.

“Kamu bawel, sih.” Mendengar jawaban suaminya, Mei semakin jengkel. Ia mencubit paha Rey, lalu masuk ke kamar.

Begitu melihat ibunya pergi, Arkha mendekat dan duduk di pangkuan ayahnya. Menggelendot manja sembari memainkan mobil-mobilan di lengan sang ayah.

“Ayah,” panggil Arkha, membuat Rey menatap wajah putranya.

“Iya, Arkha. Ada apa?”

“Arkha pengen punya adik!” Bocah itu berkata dengan wajah yang menggemaskan.

“Kan, sebentar lagi punya adik. Itu, lihat perut Ibu yang agak besar. Ada adik di dalamnya,” jelas Rey, seraya menunjuk Mei yang baru saja keluar dari kamar dan menuju dapur.

“Aku nggak mau adik dari Ibu, maunya dari Ayah. Ibu ngomong terus, bikin kepala Arkha pusing!”

Rey tertawa kecil mendengar penuturan Arkha, lantas mendekap sang putra dalam dada. “Ya, kapan-kapan saja kalau begitu. Memang kenapa mau punya adik?”

“Mau peluk. Sama kayak Paman Ray sama Paman Eza tiap ketemu Ayah. Arkha juga mau begitu. Mau peluk terus cium adek. Arkha kesepian kalau Ayah kerja!” keluh anak berusia lima tahun itu.

“Cuma itu?” tanya Rey penasaran, sembari memandangi anak lelaki bermata besar yang juga menatapnya.

“He’em! Nanti Arkha mau sayangi adik, janji tidak nakal. Arkha ajak adik main, semua mainan juga boleh dipinjam!” jawab Arkha antusias.

Mendengarnya, Rey mendekap Arkha lebih erat dan mencium keningnya berulang kali seraya mengingat kenangan masa kecilnya sendiri. Saat itu, tak ada yang mau main dengannya bahkan kakaknya.

Cinta di atas luka(Seri Ketiga Buah Kebencian Untuk Ayah) ; Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang