[15] Dihukum Papa

6.4K 609 79
                                    

Suasa ruang makan yang biasanya diselimuti dengan kehangatan itu, pagi ini terasa sangat berbeda. Tidak ada percakapan random ataupun request makanan untuk sarapan esok hari yang terdenger. Hanya suara dentingan sendok garpu yang bersautan dengan kicauan burung peliharaan Mang Didi di luar rumah. Semua orang yang duduk berdekatan itu saling diam, fokus pada sarapannya hingga salah satu di antara mereka berdiri setelah menghabiskan setengah nasi goreng.

"Aku berangkat." Tanpa melirik orang tuanya, Bergas sibuk mengenakan jaketnya.

"Kamu berangkat sama papa."

Kalimat pertama yang Bergas dengar dari mulut papanya pagi ini semakin menghancurkan mood-nya yang memang sejak tadi sudah tidak bagus.

"Apa si. Aku bisa berangkat sendiri."

Dengan santai Tio merogoh saku celana bahannya lalu menunjukan sebuah kunci motor pada pemiliknya, "Kunci motor kamu ada sama papa."

"Papa apa-apaan si?!" Protes Bergas.

"Untuk sementara kamu dianter jemput sama papa atau Mang Didi. Papa cuma mau mastiin kamu ga aneh-aneh lagi."

Mulut Bergas sampai sedikit menganga kala Tio selesai dengan ucapannya, "Aneh-aneh apa si, ya Allah ..."

Sementara satu-satunya orang yang masih terduduk di sana memejam dengan tangan yang memegang kepanya sendiri. Nadiya mulai pusing dengan perdebatan suami dan anaknya.

"Aku bisa pake motor yang lain. Motor sama mobil aku banyak kalo papa lupa." Ujar Bergas ketus pada sang papa.

Nadiya melirik Tio yang terkekeh kemudian berpindah menatap Bergas yang sudah bersiap-siap melangkah pergi, "Semua kunci motor sama mobil kamu udah diambil sama papa, nak ..."

Seketika pundak Bergas melemas, ia menatap mamanya tidak percaya. Tapi tatapan tajam papanya menjawab semuanya. Bergas mulai sadar dengan situasi. Sebuah bentuk dari hukuman. Suasana hatinya benar-benar terjun bebas. Ingin rasanya Bergas terus melayangkan protes dan marah, tapi pasti akan sia-sia. Tatapan tajam yang biasanya lembut itu menyiratkan untuk tidak ada bantahan dan penolakan.

●●●

"Uang kas nya sayang."

Kedatangan Salwa, si bendahara kelas sangar ke deretan kursi paling belakang hanya dibalas dengan lirikan malas oleh laki-laki di samping Bergas.

"Ngutang dulu ngutang." Ucap Adit.

Salwa menatap tajam Adit, "Sia jurig balegug! Lo udah 2 minggu ga bayar uang kas ya, total 45 ribu sama minggu ini. Bayar sekarang ka aing!"

Adit sampai bergidik ngeri melihat Salwa bak orang kesetanan, "Anjir serem banget kaya kuyang."

"Apa lo bilang?!"

"Iya gue bayar nih!"

Adit beringsut menyenggol Bergas yang sejak tadi anteng dengan ponselnya, "Gas ..."

Yang dipanggil menoleh dengan malas, sebelah alisnya terangkat. Adit langsung menyengir, sungguh Bergas yang begitu sama menyeramkannya dengan Salwa.

"Bayarin uang kas gue dulu, gue bawa duit 50 ribu doang. Kalo buat bayar uang kas nanti sisa 5 ribu dong, bensin motor gue tipis, belum lagi kalo Elsa minta beliin seblak. Bayarin dulu ya Gas ... ya ya ya?" Rengek Adit tak lupa dengan memasang wajah sok imut nan menjijikan.

Tak tahan, Bergas mendorong jidat Adit dengan dua jarinya, "Enek gue, babi."

Bersyukurlah Adit memiliki teman seperti Bergas. Walau dengan wajah kesal, Bergas benar-benar menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan dan sepuluh ribuan yang masih sangat kaku tanpa lipatan kepada Salwa.

Sa Bergas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang