Langkahnya pelan saat memasuki rumahnya, pun dengan dadanya yang naik turun mengatur napasnya. Dirinya langsung tercekat kala mendapati kedua orang tuanya duduk di ruang tamu, jelas jika sengaja menunggu kepulangannya. Dada Bergas semakin sesak ketika tatapannya bertemu dengan tatapan tajam milik Tio. Bahkan Bergas rasa ini adalah tatapan paling menyeramkan yang pernah ia dapat dari papanya.
"Bergas!" Teriak Nadiya sembari akan mendekati Bergas, namun Tio menahannya sampai Nadiya kembali mundur.
"Apa sih, mas?! Aku mau mastiin kalo Bergas baik-baik aja!"
"Biar aku aja. Kamu diem aja." Tio berucap dengan nada rendah dan tatapan yang tak terlepas dari Bergas.
Bergas sendiri hanya bisa diam berdiri tanpa mengucapkan apapun. Dia sudah tahu jika hal ini akan terjadi, bahkan Bergas sudah siap menerima semua amarah dari kedua orang tuanya.
"Gimana? Menang balapannya?" Tanya Tio, intonasi suaranya masih biasa saja namun sorot matanya menggambarkan jelas jika dirinya sedang marah.
"Menang." Jawab Bergas.
"Papa ga akan bangga karena kamu menang balapan."
Kemudian Tio menelisik tubuh Bergas dari atas sampai bawah dan berkata, "Buat apa ikut balap-balapan? Biar kelihatan keren? Ga gitu caranya, Gas ..."
Tio menoleh pada Nadiya yang berdiri tak jauh darinya dengan mata yang berkaca-kaca, "Puas bikin mama kamu nangis karena khawatirin kamu?"
"Papa memfasilitasi kamu kendaraan untuk mempermudah kamu, bukan untuk balapan kaya gitu."
"Maaf ..." Hanya kata itu yang mampu Bergas ucapkan untuk saat ini. Selebihnya tidak ada, karena Bergas pun sadar jika apa yang ia lakukan salah. Ia pantas untuk dimarahi.
"Kenapa si makin ke sini kamu makin susah diatur!" Suara tiba-tiba meninggi, sampai-sampai Bergas tersentak di tempatnya berdiri. Ini adalah pertama kalinya Tio membentak Bergas sekeras ini.
"Kamu mau jadi berandalan?!"
"Mas!"
Kali ini Tio yang mendapat bentakan dari Nadiya. Istrinya itu memperingatkan agar Tio tidak sampai kelewatan.
"Diem Nad, Bergas harus ditegasin. Biar dia tau kalo apa yang dia lakuin itu salah!"
Tubuh Bergas sudah gemetar dan kakinya lemas, tapi ia masih bertahan pada posisinya sejak awal, yaitu berdiri di hadapan Tio.
"Aku sadar kalau aku salah, tapi aku ngelakuin itu bukan tanpa alasan." Takut-takut Bergas memberanikan diri untuk menatap wajah Tio.
"Alasan apa lagi? Dari sisi mana pun apa yang kamu lakuin itu tetep salah,"
"Gas ... Papa dan mama ga mau kamu kenapa-kenapa. Ga mau kalau kamu sakit, karena kita sayang sama kamu."
"Tapi aku udah sakit, Pa ..." Lirih Bergas.
Tio mengacak rambutnya frustasi, "Ya makanya jangan lakuin hal-hal yang bisa bikin kamu makin sakit,"
"Papa banyak ngatur karena papa sayang sama kamu, Bergas ... Papa ga mau kehilangan kamu. Papa ga mau kehilangan lagi!"
"Dulu adik papa juga sakit, bahkan semua yang dia lakuin jauh lebih terbatas dari kamu. Tapi dia ga susah diatur kaya kamu, Gas ..."
"Pa ..." Bergas menegakkan kepalanya yang sejak tadi lebih banyak menunduk.
Bergas menggelengkan kepalanya pelan, "Aku bukan adik papa, tapi aku ini anak papa. Aku dan Om Kanaka jelas berbeda, jangan bandingin atau samain aku sama dia. Aku tuh pengin bisa jadi diri aku sendiri, Pa!" Teriak Bergas tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sa Bergas
Novela JuvenilSakitnya Bergas adalah keping luka untuk semua orang. 31/12/19