[6] Tidak Cukup Sakit Fisik

13.3K 928 81
                                    

Tio berjalan santai menyusuri koridor rumah sakit sembari membawa tas berukuran sedang yang berisi beberapa pakaian serta keperluan yang dibutuhkan selama di rumah sakit. Sengaja ia mengambilnya sendiri ke rumah sepulang mengurus absen Bergas di sekolahnya.

Jarak beberapa meter dari ruang rawat Bergas, Tio memperlambat langkahnya. Mata Tio menyipit tertuju pada laki-laki yang baru saja keluar dari ruang rawat Bergas. Sudut bibir Tio langsung terangkat membentuk sebuah senyum tipis, ia mempercepat langkahnya mendekati adiknya itu yang sudah duduk di kursi panjang.

"Dava ...."

Si pemilik nama menoleh sebentar lalu fokus kembali pada layar ponselnya, "Gue kira siapa."

"Sama Mama?" Tanya Tio.

Dava mengangguk, "Gue ga akan ke sini kalo ga karena Mama kali kak."

Tio memegang pundak Dava, "Makasih udah mau ke sini. Kakak mau masuk ke dalem, ga mau ikut?" Ajak Tio.

"Gue udah dari tadi di dalem, males. Gue di sini aja." Jawab Dava.

Tio menghela napas pelan, dadanya mendadak terasa sesak mendengar apa yang diucapkan oleh adiknya sendiri, "Dav ...."

"Hmm ...."

"Lo boleh benci sama kakak, tapi tolong hargai Bergas sebagai anak kakak. Keponakan lo satu-satunya. Bergas ga salah apa-apa, dia ga berhak diperlakukan kaya gini, apalagi sama omnya sendiri."

Dada Tio naik turun seiring dengan usahanya menahan emosi yang menguasainya, "Mau sampai kapan lo kaya gini Dav...."

Dava lantas menatap Tio dengan malas, "Kak, udah deh."

"Dav, sebelum meninggal, Papa nitipin lo sama Mama ke gue."

Tio menatap Dava dengan sendu, "Tolong jangan bikin gue merasa gagal menjalankan amanat dari Papa."

"Udah ga usah dibahas, Mama udah keluar." Dava beranjak dari duduknya dan langsung menghampiri Sarah yang keluar dari ruang rawat Bergas. Tio memejamkan matanya beberapa saat sebelum ikut menghampiri Sarah. Ia tersenyum seolah-olah tidak terjadi apapun sebelumnya.

"Barra." Sarah tersenyum saat rentangan tangannya dibalas oleh Tio. Beberapa detik ia habiskan untuk memeluk anak sulungnya itu.

"Mama udah lama?"

"Lumayan, makanya Mama mau pulang biar Bergas istirahat. Besok ke sini lagi."

Tio meraih tangan Sarah, "Mama ga perlu ke sini lagi, ga apa-apa. Insyaallah Bergas cepet pulih."

Sarah tersenyum, "Amin."

"Ayo pulang ma." Ucap Dava, ia melirik Tio sebentar.

"Mama pulang ya," pamit Sarah sambil menepuk pelan pundak Tio, "Jangan lupa kabarin Mama terus."

Tio menyalimi tangan Sarah, "Iya Ma."

Begitu mama dan adiknya mulai pergi, Tio tidak langsung masuk ke dalam ruang rawat Bergas. Ia menatap punggung tegap adiknya sebelum jauh, "Dava nyetirnya hati-hati."

"Ya Kak!"

Tio terdiam sejenak sebelum membuka pintu. Untuk kedua kalinya ia merasa gagal sebagai seorang kakak. Sampai sekarang di antara dirinya dan Dava seolah ada sebuah tembok penghalang, dan Tio belum berhasil meruntuhkannya. Davalah yang membangunnya sendiri, atas dasar tidak terima akan keputusan yang Tio ambil.

"Assalamu'alaikum."

Bersamaan dengan Tio membuka pintu, Nadiya keluar dari kamar mandi membawa waskom stainless berisi air dan handuk kecil.

Sa Bergas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang