Setelah melewati sedikit drama, akhirnya Tio benar-benar berangkat ke Singapura. Mengambil penerbangan sore hari, sejak pagi Tio benar-benar menempeli Bergas sampai anak itu jengah sendiri. Tapi mau diapit di ketek Tio seharian juga Bergas tidak akan protes. Takut kualat katanya. Tio benar-benar emosional, sampai saat akan pergi ke bandara, Tio menangis sambil memeluk Bergas dan memohon kepadanya untuk tetap baik-baik saja. Tapi dengan tidak berperasaannya, Bergas malah membalasnya dengan tawa meledek.
Kini sudah hari kedua Tio berada di negara orang. Awalnya semuanya baik-baik saja. Tio rajin menghubungi Nadiya hanya untuk menanyakan kabar Bergas. Dia juga sangat bawel kepada seluruh anggota keluarganya dan menitipkan Bergas pada mereka. Namun siang ini Bergas membuat keluarganya kalang kabut karena tiba-tiba demam tinggi dan mimisan hebat.
"Jangan kasih tau papa ... Nanti khawatir." Ucap Bergas pelan, sangat pelan karena tubuhnya sudah sangat lemas. Matanya terpejam dengan tubuh yang bersandar penuh pada dada Adhi. Darah masih terus mengalir dari hidung Bergas walau tidak sebanyak sebelumnya.
"Adek kenapa kaya gini, dek ..." Tangan Nadiya bergetar mengelap area hidung Bergas menggunakan tissue. Matanya sudah berkaca-kaca.
"Mimisannya udah berhenti, tidurin aja yah ..." Titah Ayu yang juga berada di sana. Ia usap wajah pasi Bergas, rasanya sudah tidak semenyengat sebelumnya namun kini napas Bergas terdengar memberat.
"Adek sesek?"
Bergas masih mendengar suara di sekitarnya tapi jangankan untuk menjawab, membuka mata saja rasanya tak sanggup. Kepalanya sangat pusing sampai mau pecah rasanya. Dan kini paru-parunya terasa terhimpit, seluruh tubuhnya pun terasa sakit sampai tidak tahu di mata pusat rasa sakitnya. Bergas ingin tidur supaya sakitnya tak terasa.
Tubuh Bergas terkulai ke samping, anak itu benar-benar sudah tidak bertenaga. Jelas akan jatuh terjerembab ke bawah jika Adhi tidak menahannya dan langsung membaringkannya.
"Nad, panggil dokter."
Semuanya panik sampai melupakan fitur emergency call button yang tersedia di ruang rawat Bergas. Nadiya berlari memanggil dokter sedangkan Adhi dan Ayu masih berusaha mencari respon Bergas.
"Bergas, denger bunda?"
"Ssa ... kit."
Sampai dokter dan perawat datang, Bergas sudah tidak sanggup mengeluarkan suara. Mulutnya sudah terbuka berusaha meraup oksigen. Namun meskipun matanya terpejam rapat, Bergas belum benar-benar kehilangan kesadaran. Ia masih bisa merasakan saat genggaman di tangannya terlepas, suara gaduh dan panik juga masih terdengar di telinganya meski bercampur dengan dengungan.
Bergas pasrah dengan apa yang dilakukan oleh dokter dan perawat pada tubuhnya. Sampai akhirnya ia merasa tubuhnya sangat kaku dan ia tidak bisa mengontrolnya.
Bergas kejang dan setelahnya kesadarannya terenggut sepenuhnya.
•••
Setelah berhasil membuat tenaga medis sibuk dan kalang kabut karena aksi tak sadarkan diri disertai kejang, akhirnya menjelang malam Bergas sadar. Namun ia masih sangat linglung dan memilih kembali memejamkan mata. Bergas tertidur, mungkin merasa sangat payah setelah tubuhnya dibombardir oleh rasa sakit.
Sebelumnya tubuh Bergas sudah terbebas dari alat medis yang rumit, hanya menyisakan infus di tangan kirinya. Namun sekarang kabel elektroda kembali menempel di dadanya, mencuat dari sela bajunya yang bagian atasnya sengaja tidak dikancing. Lengan kiri atas Bergas dililit manset tensimeter, sedangkan jari telunjuknya dijepit dengan oximeter. Bergas memerlukan itu semua untuk memantau tanda-tanda vitalnya yang bahkan sampai sekarang masih terlihat buruk di monitor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sa Bergas
Novela JuvenilSakitnya Bergas adalah keping luka untuk semua orang. 31/12/19