[35] Sampai Kapan?

5.1K 587 84
                                    

Ibu mana yang hatinya tidak teriris saat dihadapkan dengan kondisi tak berdaya anaknya. Saat Nadiya berpamitan pulang sebentar untuk mengambil pakaian, semuanya tampak baik-baik saja. Bahkan Nadiya dibekali senyum manis anaknya yang berpesan ingin dibawakan parfum favoritnya.

Namun saat menjelang sore Nadiya kembali ke rumah sakit, rasanya jantungnya berhenti berdetak saat melihat kondisi Bergas. Tampak sangat kacau dan tidak berdaya. Satu hal yang membuat Nadiya ingin menjerit, kedua tangan Bergas diikat di sisi tempat tidur.

"Bergas kenapa?"

Nadiya berjalan cepat menghampiri pembaringan Bergas. Suara Nadiya yang sarat akan kepanikan dan menuntut penjelasan cukup mengejutkan Tio yang sejak tadi ada di samping Bergas.

"Mas, kenapa? Kenapa tangan Bergas diikat? Kasian nanti tangannya sakit!"

Tio langsung berdiri, "Nad, tenang dulu ya ..."

"Gimana aku bisa tenang, anak aku kenapa?" Nadiya bertanya panik sambil menciumi wajah Bergas yang lebih pucat dari sebelumnya.

"Tadi baik-baik aja, kenapa sekarang gini?" Nadiya menatap Tio dengan mata berkaca-kaca.

Tidak langsung menjawab, Tio membawa tubuh sang istri untuk duduk, "Bergas baru tidur, tenang dulu ya. Nanti Bergas kebangun ..."

Diawali dengan menarik napas panjang, Tio kemudian menjelaskan apa yang sebelumnya terjadi pada Bergas.

"Tadi Bergas tiba-tiba histeris waktu tau kalau driver ojol yang nganterin dia meninggal."

"Karena Bergas sampai berusaha nyakitin dirinya sendiri, dan ga bisa ditenangkan, akhirnya tim medis memutuskan untuk mengikat tangan Bergas. Bergas mulai tenang waktu dokter injeksi dia."

Mendengar penjelasan Tio, bahu Nadiya langsung lemas. Matanya meneteskan air mata begitu tatapnya melihat tangan Bergas yang terikat. Punggung tangan kiri yang semula terpasang infus, kini dihiasi perban yang untuk menutupi luka robek bekas infus yang tertarik paksa. Sedangkan infus baru dipasang di tangan kanan.

"Kalau nanti kaya gini terus, Bergas butuh penanganan dari psikiater." Ujar Tio pelan. Rasanya enggan mengatakan itu, namun fakta sudah menghampiri lebih dulu.

Nadiya hanya bisa menunduk, berusaha menenangkan diri sekaligus menjernihkan pikirannya. Batin Nadiya menjerit, Tuhan ... apa lagi ini?

Saat Nadiya bergelut dengan batinnya sendiri, Tio pun sama. Bahkan ia yang menyaksikan sendiri bagaimana Bergas berusaha menyakiti diri nya sendiri.

Hanya usapan lembut di punggung Nadiya yang kini Tio bisa berikan.

"Nad, kuat ya?"

Pelan suara Tio masih terdengar di telinga Nadiya. Wanita yang akhir-akhir ini bahkan tak sempat mengurus dirinya sendiri itu mendongak, menatap tepat pada wajah sang suami.

Entah kenapa, melihat Tio tersenyum malah membuat dada Nadiya semakin sesak. Karena Nadiya tahu, senyum itu hanya topeng sang suami. Nadiya menggigit bibir bawahnya, mati-matian menahan air mata yang akan lolos.

"Kita kuat ya, buat Bergas?"

Saat Tio mengucapkan kalimat itu, Nadiya langsung mendiri dan memeluk tubuh Tio. Ia menumpahkan tangisnya di dada bidang milik suaminya.

"Maaf, aku ga bisa sekuat kamu ..." Ucap Nadiya di sela-sela tangisnya. Tangisnya benar-benar pecah. Andai Bergas tidak dibawah pengaruh obat bius, sudah dipastikan suara tangis Nadiya akan mengusik tidurnya.

Tangan Tio terangkat untuk mengusap pucuk kepala Nadiya. Untuk beberapa saat ia memejam, membiarkan Nadiya menumpahkan tangis dalam dekapnya.

Ya, Tuhan ... Sampai kapan?

Sa Bergas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang