[9] Kenapa?

6.4K 625 89
                                    

Sudah menjadi kebiasaan jika hampir setiap weekend Tio akan memboyong keluarga kecilnya untuk menginap di rumah mamanya. Tio selalu membiasakan Bergas, anak semata wayangnya untuk dekat dengan semua orang tuanya. Baik orang tua kandung ataupun orang tua angkatnya. Tio memang tidak pernah merahasiakan soal status dan latar belakangnya pada anaknya, ia menjelaskan semua hal tanpa terkecuali pada Bergas. Tio juga selalu mewanti-wanti Bergas supaya tidak membeda-bedakan kedua belah pihak. Bagi Tio mereka semua sama-sama orang tuanya, begitu juga yang Tio ajarkan pada Bergas, bahwa mereka semua adalah kakek dan neneknya.

Awalnya Bergas sempat berpikir kenapa silsilah keluarganya begitu rumit? Namun hanya terlintas sesaat, selanjutnya ia tidak ambil pusing. Justru ia merasa beruntung karena itu artinya semakin banyak orang yang menyayanginya.  

Bergas memandang langit malam yang sendu tanpa bintang, kedua tangannya ia masukan ke dalam saku celana training panjang yang ia pakai. Sudah beberapa hari ini udara malam Jakarta terasa seperti Puncak, Bogor. Tidak seharusnya Bergas duduk sendirian di teras belakang rumah omanya di saat semua orang sedang berkumpul di ruang keluarga. Hanya saja tadi saat ia ikut bergabung, ekspresi omnya terkesan tidak suka akan kehadirannya di sana, oleh kerena itu Bergas memilih menyingkir.

Jujur sampai sekarang Bergas sendiri masih bertanya-tanya, di mana letak kesalahannya dan apa yang membuat omnya sampai bersikap begitu dingin kepadanya. Yang jelas Bergas merasa bahwa omnya tidak menyukainya. 

"Bergas, masuk nak! Di luar dingin, mau hujan." Bergas menoleh ke dalam kemudian kembali lagi menatap langit, omanya benar bulir rintik hujan perlahan mulai turun membasahi bumi.

"Iya, oma! Sebentar ...." Sebentar yang Bergas ucapkan justru berlangsung cukup lama. Bergas tidak segera masuk ke dalam rumah, ia malah terdiam menatap lurus ke dapan memandangi hujan yang turun semakin deras. 

"Heh! Malah ngelamun. Masuk, hujan begini. Nanti masuk angin."

"Ih .... Papa mah ngagetin."  Ucap Bergas sambil memegang lengan papanya kemudian berdiri. 

Tio menghela napas pelan, "Ya lagian kamu ngapain coba hujan-hujan malah nongkrong di luar gini. Oma kamu tuh pengin ngobrol banyak sama kamu, Dek." 

"Tadi kalian semua ngobrolnya keliatan serius banget, kan aku takut gang- lhoh omanya mana?" Tanya Bergas begitu masuk dan mendapati ruang keluarga kosong, tidak ada satupun orang di sana. 

Tio berjalan mendahului Bergas yang kini sedang berdiri menatap ruang keluarga yang kosong hanya ada beberapa makanan dan snack yang tersisa dari acara berbincang-bincang tadi, "Ya kamu dipanggilin, bukannya langsung masuk. Oma keburu ngantuk. Mama sama Om Dava juga udah masuk ke kamar." 

"Maaf ..." Ujar Bergas pelan. 

Tio berbalik menatap Bergas dan memegang pundak anaknya itu, "Gak apa-apa. Tapi, lain kali jangan begitu, jatuhnya ga sopan. Oma tuh ketemu kamu gak setiap hari kaya bunda. Jadi sekalinya kamu di sini, oma pengin ngabisin waktu bareng sama kamu, cucunya." 

Tio dapat melihat jelas penyesalan dan rasa bersalah di wajah Bergas, ia mengusap pelan kepala Bergas dan tersenyum, "Udah malem, tidur gih."

Bergas menurut, ia menuju kamar yang yang selalu ia tempati jika menginap di rumah omanya. Kamar yang berada di lantai dua dan bersebelahan dengan kamar omnya. Sedangkan orang tuanya tidur di kamar tamu yang berada di lantai satu. 

Sebelum tidur, Bergas menyempatkan diri untuk menaikan suhu AC di kamarnya agar tidak terlalu dingin. Ia kemudian merebahkan diri di kasur dan menarik selimut sampai penutupi lehernya. Bergas terlelap ditemani dinginnya malam dan suara gemuruh hujan tanpa petir. 

Sa Bergas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang