[36] Ada yang Luluh

4.6K 574 54
                                    

Hari belum semestinya gelap, namun di luar hujan deras disertai petir yang bersautan dengan kilat. Alam sedang tak karuan, sama halnya dengan Tio. Kepalanya penuh dengan segala kerumitan yang terjadi sedangkan hatinya entah kapan terakhir kali merasakan tenang.

Setengah jam yang lalu, selesai membersihkan diri dan mengganti setelan kantornya, Tio memasuki kamar Bergas. Hanya sepi yang menyambut Tio. Kamar itu sudah hampir satu bulan kosong karena pemiliknya yang tak kunjung bisa pulang. Niatnya hanya akan mengambil jaket Bergas untuk dibawa ke rumah sakit. Namun berujung Tio duduk di tepi kasur dan memandang foto keluarga yang tertempel di dinding putih kamar Bergas. Cukup lama, fokusnya jatuh pada Bergas yang diapit oleh dirinya dan Nadiya dalam foto tersebut. Selalu bertiga, karena Bergas adalah tunggal. 

Bukan sengaja Tio dan Nadiya membiarkan Bergas sendiri. Namun dulu saat Bergas kecil divonis sakit, ada rasa takut tersendiri yang mereka rasakan untuk memiliki anak lagi. Terutama Tio, ia sangat takut tidak bisa merawat dan menjaga Bergas dengan baik. Tapi terlepas dari itu, Bergas memang ditakdirkan menjadi tunggal yang harus dijaga.

Sa Bergas Naka Putra Adhiasta.

Nama penuh makna yang Tio berikan untuk anaknya. Tidak banyak yang tahu, dalam nama tersebut Tio menyelipkan doa dan harapan agak anaknya bisa hidup sehat tanpa rasa sakit sedikit pun. Namun pada akhirnya doanya tidak tersampaikan lewat nama indah itu.

Jelegar petir menarik Tio dari renungannya, diawali dengan helaan nafas pelan, Tio berdiri. Menghampiri lemari pakaian Bergas. Tio membuka bagian lemari yang memang berisikan jaket, hoodie, dan beberapa cardigan rajut milik Bergas. Semuanya digantung dengan rapi. Tio mengambil jaket dan cardigan masing-masing satu sebelum akhirnya melangkah keluar.

"Mang Didi, tolong antar aku ke rumah sakit ya."

Mang Didi yang memang kebetulan sedang lewat saat Tio menuruni anak tangga langsung buru-buru menghampiri majikannya itu.

Tanpa sungkan, Mang Didi memegang pundak Tio dan bertanya, "Mas Tio, sehat?"

Meski posisinya hanya sebagai seorang pekerja di rumah Tio, namun Mang Didi sudah seperti keluarga dalam rumah ini. Hal tersebut karena begitu rendahnya hati keluarga Tio dalam bersikap. Keluarga Tio benar-benar membuat Mang Didi kagum dan rasanya enggan untuk meninggalkan keluarga ini jika suatu saat nanti dia harus bekerja.

"Alhamdulillah, sehat." Di akhir kalimatnya Tio tersenyum. Tapi senyum itu berbeda di mata Mang Didi.

Mang Didi tahu majikannya itu sudah begitu lelah dengan semua yang terjadi. Wajahnya mendung, fisiknya jelas lelah, tapi hatinya dipaksa tegar.

Selama Mang Didi bekerja, Tio jarang bahkan hampir tidak pernah minta diantar atau dijemput kecuali di situasi tertentu. Kerjanya selama ini hanya untuk Nadiya dan Bergas. Tio lebih sering menyetir sendiri.

"Mas Tio, jaga kesehatan ya. Jangan sampe ikutan sakit." Jujur Mang Didi khawatir dengan Tio.

Lagi, Tio tersenyum, "Iya, mang. Makasih ya."

Sambil mengusap pelan punggung Tio, Mang Didi tersenyum, "Mau sekarang ke rumah sakitnya, mas? Lagi hujan deras, lhoh ... Apa ga sebaiknya nunggu reda dulu?"

"Sekarang aja, mang. Dari pagi aku di kantor, kasian Nadiya ga ada yang gantiin jagain Bergas."

•••

Bisa melihat senyum anaknya meski dengan bibir yang pucat adalah hal yang sangat Tio syukuri.

"Papa baru pulang dari kantor?"

"Iya, tapi tadi mampir ke rumah dulu. Mandi sama ambil jaket kamu." Tio mengangkat paper bag yang ia bawa.

"Papa bawa jaket kamu buat nanti kalo dokter udah bolehin kamu keluar kamar. Nanti papa temenin kamu ke taman rumah sakit, biar kamu ga bosen. Karena sekarang lagi musim hujan, jadi nanti kamu harus pake jaket. Biar ga dingin."

Sa Bergas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang