[32] Sayang Bergas Banyak-banyak

7.2K 612 94
                                    

Saat kesadarannya sudah kembali sepenuhnya, Bergas tidak bisa mendeskripsikan apa yang ia rasakan. Yang jelas semuanya terasa menyiksa. Setiap kali Bergas menarik nafas akan dibarengi dengan nyeri yang menghujam dadanya, meskipun sudah dibantu dengan nasal kanul.

Bergas tidak tahu pasti soal kondisi kaki kirinya, tapi tanpa ada yang menjelaskan pun Bergas yakin jika cederanya parah.

"Pa ..."

Tio yang selalu setia di samping Bergas sejak anak itu keluar dari ICU langsung mendekatkan tubuhnya, "Kenapa? Ada yang sakit?"

"Kapan selangnya dilepas?"

Selang yang dimaksud Bergas adalah selang WSD (Water Seal Drainage) yang menembus sela-sela tulang rusuknya. Karena itu yang paling membuatnya tidak nyaman.

Tio memegang tangan Bergas, "Sabar ya, nanti dokter visit lagi. Kalo paru-paru kamu udah baik, bakal dilepas."

Bergas menarik napas dalam, rasanya paru-parunya tidak mungkin baik. Karena untuk bernapas saja Bergas sangat tersiksa. Untuk sekarang Bergas benar-benar hanya bisa terbaring, bahkan untuk sekedar memiringkan tubuhnya saja ia tak mampu.

"Pa ..."

Lagi, Bergas memanggil papanya yang kini sedang menatapnya sambil mengelus rambutnya.

"Kalo aku ga bisa jalan lagi gimana?" Lirih Bergas. Mata sayunya menatap wajah lelah milik Tio.

"Bisa kok, pasti bisa!" Ucap Tio yakin.

"Dokter juga bilang bisa kan? Walaupun butuh waktu yang cukup lama untuk kamu bisa pulih sepenuhnya."

Bergas memejamkan mata sambil menikmati nyeri yang timbul saat ia menarik nafas.

"Dan selama itu aku akan sangat menyusahkan kalian semua." Gumam Bergas.

Tio menggeleng mendengar penuturan anaknya, "Jangan ngomong kaya gitu lagi. Papa ga suka."

"Kalaupun kamu ga bisa jalan lagi, papa yang akan jadi kaki kamu, dek ..."

Reflek Bergas membuka matanya kemudian memiringkan kepalanya dengan pelan. Dengan posisi seperti itu, Bergas dapat melihat jelas mata Tio berkaca-kaca.

"Jangan nangis." Ucap Bergas. Ia berusaha sebisanya membalas genggaman Tio pada tangannya.

"Papa jelek banget kalo nangis."

"Ya kamu jangan ngomong kaya gitu makanya ..."

Bergas tersenyum tipis, papanya berbicara dengan nada memohon.

"Maaf ..." Cicit Bergas.

Tidak menyahut, Tio kembali mengusap pucuk kepala Bergas dengan sayang. Melihat Bergas yang mengernyit tiap kali menarik nafas membuat Tio ikut sesak.

Selama satu Minggu Bergas harus mendapatkan perawatan di ICU, waktu Tio bisa bertemu dengan Bergas sangat terbatas. Oleh karena itu, sekarang Tio rasanya enggan untuk jauh dari dari Bergas. Sejak dipindahkan ke ruang perawatan, Tio sama sekali tidak beranjak dari dekat Bergas.

Melihat Bergas memejamkan matanya dengan tenang dan tak kunjung membuka mata lagi, membuat Tio menghela nafas pelan. Ia harap Bergas benar-benar tertidur, karena sejak tadi anak itu selalu mengernyit dalam pejamnya. Mengekspresikan rasa tidak nyaman dan sakit pada tubuhnya.

Arloji yang mungkar di pergelangan tangan Tio menunjukkan pukul 2 pagi. Udara terasa lebih dingin, ia beranjak untuk mengambil selimut di lemari dan kemudian menghampiri Nadiya yang terlelap di sofa.

Tio menyelimuti Nadiya sampe sebatas leher, kemudian diam memandang setiap pahatan dari wajah sang istri tersebut cukup lama. Ia tersenyum kemudian mengecup singkat kening Nadiya. Tio melakukannya dengan hati-hati supaya tidak mengusik tidur Nadiya.

Sa Bergas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang