Sudah menjadi komitmen Tio dan Nadiya sejak dulu untuk tidak meninggalkan Bergas seorang diri. Apalagi dalam keadaan sakit. Bagaimana pun caranya, mereka akan selalu mengusahakan untuk selalu berada di samping Bergas.
Seperti Tio yang rela dalam sehari bolak-balik kantor-rumah sakit, ketimbang harus stay di kantor dari pagi sampai sore bahkan malam seperti biasanya. Tio hanya akan datang ke kantor apabila ada sesuatu yang harus ia tangani sendiri. Selebihnya, jika masih bisa di-handle oleh orang kepercayaannya, Tio jelas memilih untuk tetap di rumah sakit. Tio bahkan tidak peduli dengan jarak antara kantor dan rumah sakit tempat Bergas dirawat yang terbilang jauh.
"Pa, mau coba duduk ..."
Tio yang baru saja selesai mengoleskan madu ke bibir kering Bergas langsung memegang lengan Bergas, "Kuat?"
"Bantuin, pelan-pelan."
Sesuai dengan permintaan Bergas, Tio langsung berdiri dan membantu Bergas untuk merubah posisinya menjadi duduk. Sangat pelan dan hati-hati, Tio mengangkat tubuh bagian atas Bergas.
"Sshhh ..."
"Kalo belum kuat, jangan dipaksain, dek ..."
Bagaimana Tio tidak khawatir, belum ada 30 derajat tubuh Bergas terangkat, anak itu sudah meringis kesakitan.
"Kata dokter pelan-pelan harus dibiasain, biar ga kaku." Ujar Bergas yang diakhiri dengan ringisan.
Setelah melawan rasa nyeri dan linu di kaki kirinya, akhirnya Bergas berhasil mendudukkan dirinya dengan dibantu oleh Tio. Dalam posisi seperti itu, Tio yang masih was-was langsung ikut duduk di space kosong samping Bergas. Tangannya merangkul tubuh Bergas, takut anak itu belum kuat untuk benar-benar duduk sendiri.
"Sakit banget?" Pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut Tio. Padahal sudah jelas-jelas Bergas masih meringis kesakitan.
"Aman, kok." Sahut Bergas meyakinkan Tio.
Tio mengusap lembut lengan Bergas. Hari yang panjang masih akan berjalan kedepannya, entah sampai kapan Tio pun tidak tahu. Yang jelas Tio berharap semua ini akan segera terlalui.
Keadaan Bergas sudah menunjukkan banyak kemajuan meski tak jarang tiba-tiba kembali menurun. Dan Tio sangat mensyukuri itu. Tio percaya segala sesuatu itu butuh proses.
"Pa ..."
"Hmm?"
"Jaga kesehatan ya."
Tio tersenyum, "Harusnya kamu yang jaga kesehatan, kenapa jadi papa?"
Bergas tampak menghela napas, "Papa sama mama jadi kurang tidur karena harus ngurusin aku. Kerjaan papa juga berantakan,"
"Pa, aku ga perlu ditunggui trus ... Papa ke kantor kaya biasanya aja. Ga usah bolak balik ke sini, papa pasti capek."
"Siapa bilang papa capek?" Tio bertanya.
Bergas mendengus, "Please, pa ..."
Melihat Bergas memasang wajah melas lengkap dengan puppy eyes membuat Tio ingin tertawa.
"Papa ga pernah capek sayang ..."
"Ga usah mikirin papa, fokus sama kesehatan kamu, oke?"
Bergas menjatuhkan kepalanya di pundak tegap Tio, kemudian ia bergumam, "Aku ngerasa ga berguna banget ... Bahkan sekarang aku udah kaya bayi lagi. Apa-apa harus dibantu ..."
"Hei, dengerin papa ya ..."
"Di mata papa sama mama Bergas tuh emang selalu jadi bayi. Bayi yang kehadirannya jadi pengobat lara orang tuanya. Bayi yang dulu selalu bertanya kenapa dia punya 3 nenek dan 3 kakek, padahal temen-temennya cuma punya 2." Tio terkekeh di akhir kalimatnya. Bayangan masa kecil Bergas masih teringat jelas dalam memorinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sa Bergas
Teen FictionSakitnya Bergas adalah keping luka untuk semua orang. 31/12/19