Pagi-pagi sekali Dava sudah berada di rumah Tio. Bukan tanpa alasan, lewat tengah malam tadi Tio menelponnya dan bercerita tentang permintaan Bergas yang jelas Dava tentang.
Kini Tio dan Dava duduk berhadapan di ruang makan. Baru datang langsung diseret ke ruang makan untuk sarapan oleh kakak iparnya. Katanya ngobrolnya sambil sarapan saja.
"Kali ini nasi gorengnya ga pedes, ya. Biar Bergas bisa ikut makan." Ucap Nadiya sambil menata makanan yang baru selesai ia masak di meja makan.
"Aman, kak." Sahut Dava sambil mengacungkan jempolnya.
Nadiya tersenyum, "Pada makan duluan aja ya, aku mau bangunin Bergas dulu."
Sepeninggal Nadiya ke kamar Bergas, kakak beradik itu mulai menyantap sarapannya masing-masing diselingi dengan perbincangan soal cerita Tio sebelumnya di telepon.
"Jadi, gimana kak? Lo mau bebasin?" Tanya Dava.
"Hmm ... Bergas yang minta. Tapi tetap melibatkan keputusan keluarga korban meninggal. Makanya kakak minta kamu ke sini buat anter kita ke makam sama rumah korban, kan kamu udah pernah ke sana." Jelas Tio.
"Sama Bergas?"
Tio mengangguk, "Iya, dibilang nanti aja juga dia ga mau. Maunya hari ini."
Dava menghela napas pelan, "Anak lo titisan malaikat apa gimana ya kak, heran gue ..."
Mendengar pernyataan Dava, Tio terkekeh, "Kakak juga bingung."
"Ga akan bingung kalo udah di surga ..." Gumam Dava sambil menggeser piringnya yang sudah kosong.
"Kak Nadiya gimana tanggapannya?"
"Dia bisa apa kalo Bergas udah mohon-mohon?" Tio kembali terkekeh mengingat kejadian semalam saat Bergas juga mengutarakan keinginannya pada Nadiya sambil memohon.
"Mas ..."
Seketika atensi Tio dan Dava langsung tertuju pada Nadiya yang baru kembali dari kamar Bergas.
"Bergas agak demam. Aku mau buatin bubur dulu ..."
Apakah Tio terkejut? Ya, tapi hanya sedikit. Karena Bergas memang selalu ada saja gebrakannya.
Dengan setenang mungkin, Tio berdiri hendak melihat langsung kondisi anaknya di kamar. Yang panik justru Dava, berjalan dengan tergesa mendahului Tio.
Brak!
Tio sedikit tersentak, Dava hampir merusak pintu kamar Bergas karena membukanya dengan brutal.
"Bisa pelan-pelan ga buka pintunya ..."
Suara serak Bergas terdengar memprotes. Anak itu berusaha duduk dengan badan yang masih tergulung selimut tebal. Bergas langsung memejam dan meringis karena karena sakit di kaki dan kepalanya menyerang secara bersamaan.
"Kak, beneran panas anak lo!" Heboh Dava sambil menempelkan telapak tangannya di kening Bergas.
Berbeda dengan Dava yang heboh, Tio tetap diam menatap Bergas tanpa ekspresi. Bergas dan Dava sampai bingung kenapa Tio terus diam.
"Pa, aku ga ap-
"Kita ga jadi pergi hari ini. Kamu istirahat." Tio memotong ucapan Bergas.
Mata sayu Bergas menatap Tio kecewa, "Pa, aku cuma demam sedikit, minum obat juga ilang. Sesuai kesepakatan kita semalam, ayo pergi hari ini."
"Sa Bergas, jangan keras kepala. Atau papa bawa kamu ke rumah sakit." Nada suara Tio meninggi.
Bergas tidak mau kalah ngegas, "Aku tetep mau pergi hari ini! Kalo emang papa ga mau nganterin, aku bisa sama Om Dava. Iya, kan om?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sa Bergas
Fiksi RemajaSakitnya Bergas adalah keping luka untuk semua orang. 31/12/19