Sesekali mata itu sedikit terbuka lalu kembali tertutup. Usaha keras Bergas untuk tetap terjaga tidak sebanding dengan tubuhnya yang sedang tidak berdaya. Bergas sudah menghabiskan dua kantung darah karena Hb-nya drop parah sampai membuatnya sesak napas hebat dan aritmia. Meski sudah dipindahkan ke ruang rawat, masker oksigen yang menutupi area mulut dan hidungnya masih belum terlepas karena saturasinya masih rendah. Pun dengan detak jantungnya yang masih tidak beraturan terpantau dari layar monitor.
Tio menghela napas pelan, lagi-lagi seperti ini. Bahkan belum ada sebulan Bergas keluar dari rumah sakit tapi kini harus kembali lagi.
"Keadaan kakinya ga ada masalah kan, mas?" Nadiya bertanya sambil memakaikan kaus kaki pada kedua kaki Bergas. Tadi Bergas sempat bergumam dingin.
Tio menggeleng, "Kata dokter sejauh ini perkembangan pasca operasi terbilang baik. Ga boleh terlalu dipaksakan, pelan-pelan ... Tapi tau sendiri kan, anak kamu suka maksain diri."
"Anak kita." Ralat Nadiya yang membuat Tio terkekeh kecil.
"Paru-parunya?" Nadiya kembali bertanya. Tadi hanya Tio yang menemui dokter, sehingga Nadiya belum tahu bagaimana penjelasan terkait kondisi Bergas sekarang.
"Collapse waktu itu udah tertangani dengan operasi, untuk kedepannya tidak menutup kemungkinan ada efek yang ditimbulkan. Entah itu besar atau kecil."
Tio melirik Bergas kini sedang terpejam sempurna, "Kalo Hb-nya turun aja suka nyesek, ditambah ada riwayat cedera di paru-parunya. Pasokan oksigennya makin ga akan efektif."
"Tapi kata dokter, paru-parunya bisa pulih total kok."
Kalimat terakhir yang Tio ucapkan sedikit menenangkan Nadiya. Dia mengulum senyum, kemudian berjalan mengambil pakaian santai yang dia bawa dari rumah untuk Tio.
"Kamu mandi trus ganti baju, mas." Ujar Nadiya seraya menyodorkan pakaian ganti pada Tio.
"Nad ..." Ucap pelan Tio dengan tatap yang beradu dengan milik sang istri.
"Iya?"
"Kamu mau ga kalo kita pindah sementara ke luar negeri?"
Nadiya menautkan kedua alisnya bingung, "Kenapa?"
"Cedera Bergas mungkin bisa sembuh total, meskipun butuh waktu lama. Tapi kamu tau kan kalo penyakitnya ga akan bisa sembuh tanpa transplantasi sumsum tulang belakang."
Meski berat tapi Nadiya tetap mengangguk, suaminya baru saja mengingatkannya pada fakta menyakitkan itu.
"Baik aku, kamu dan anggota keluarga yang lain ga ada yang sumsumnya cocok dengan Bergas. Dulu dokter pernah bilang presentase kecocokan yang besar jika pendonor adalah saudara kandung. Tapi Bergas ditakdirkan menjadi tunggal."
"Satu-satunya harapan adalah ada pendonor yang cocok dari luar sana. Tapi sampai sekarang juga belum ada selama kita di Indonesia. Aku udah daftarin Bergas ke antrean penerima donor sumsum yang terintegrasi dengan bank donor sumsum tulang belakang belakang di Amerika."
Nadiya mendongak, menatap Tio yang berucap dengan sungguh-sungguh. Sebenarnya niat untuk membawa Bergas berobat ke luar negeri sudah ada sejak dulu, tapi banyak pertimbangan terutama dengan Bergas yang selalu menolak.
Sebelumnya kondisi Bergas pun terbilang cukup baik. Masih tertangani dengan obat, transfusi rutin dan segala jenis upaya pengobatan terbaik di Indonesia. Bahkan dokter pun tidak menyarankan untuk segera melakukan transplantasi, karena kondisi Bergas masih dalam kategori aman. Itulah alasan akhirnya memilih untuk tetap di Indonesia.
Tapi tidak dapat dipungkiri, Nadiya tidak denial jika kondisi anaknya kian hari kian menurun. Ditambah kecelakaan naas itu, berhasil menambah sakit fisik dan memborbardir psikis anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sa Bergas
Roman pour AdolescentsSakitnya Bergas adalah keping luka untuk semua orang. 31/12/19