[5] Tumbang

15.4K 978 60
                                    

Matahari pagi sudah sepenuhnya menampakan diri, cahayanya diam-diam mulai menelusup masuk melalui celah jendela. Hordeng putih tidak cukup menghalangi, cahaya yang cukup menyilaukan mata itu mulai memenuhi sudut-sudut kamar Bergas.

Seorang wanita yang mengenakan baju tidur dan rambut dicepol acak tanpa permisi membuka pintu lalu berkacak pinggang, "Anak Mama kok belum bangun...."

"Bergas?"

"Nanti kamu telat ke sekolah." Ujar Nadiya sambil membuka lebar hordeng kamar Bergas.

Tidak ada sahutan, bahkan Bergas masih tetap pada posisinya bergulung dengan selimut membelakangi Nadiya.

"Dek," Nadiya menyentuh wajah Bergas, raut kesalnya berubah panik saat panasnya suhu tubuh Bergas menyengat tangannya.

Dengan gerakan cepat Nadiya menyingkap selimut yang menutupi tubuh anaknya, "Bergas ..." Ia merubah posisi Bergas menjadi terlentang.

"Bergas buka matanya nak." Tangan Nadiya bergetar menangkup wajah pasi Bergas. Sebisa mungkin untuk tenang dan tidak panik seperti pesan ibu mertuanya.

"Ma ... aku sakit." Dalam pejamnya Bergas bergumam.

"Iya jangan sekolah dulu ya, sembuh dulu." Nadiya mengusap lembut dahi Bergas dan mengecupnya.

"Mas Tio!" Nadiya berteriak, berharap suaminya mendengar suaranya dan segera datang.

"Satrio!"

Tentu Nadiya selalu panik menyangkut keadaan Bergas, namun ia masih bisa berpikir jernih dan melakukan apa yang seharusnya ia lakukan di situasi sekarang.

"Ya Allah." Termometer menunjukan angka 38,9.

Orang yang Nadiya butuhkan datang, "Ada apa Nad?" Tio berjalan cepat menghampiri Nadiya yang sedang menciumi wajah Bergas.

"Bergas."

"Kenapa?" Tio langsung meloncat ke atas tempat tidur dan menyentuh pipi Bergas.

"Dek, astaghfirullah."

Bergas masih sadar, ia masih bisa mendengar suara kedua orang tuanya serta sentuhan-sentuhan di tubuhnya. Hanya saja matanya terasa begitu berat untuk terbuka, "Tangan Papa."

Mendengar itu Tio segera menggenggam tangan Bergas dengan erat, menyalurkan kehangatan untuk anaknya, "Kuat duduk ga Dek, minum obat dulu."

"Bantuin Mas," ujar Nadiya yang sudah memegang obat untuk Bergas dan segelas air putih.

"Pelan-pelan, kamu harus minum obat." Tio membantu Bergas untuk bangun, sambil menahan tubuh Bergas, ia menumpuk beberapa bantal di belakang Bergas sebagai sandaran Bergas.

"Ma bentar, aku mual." Bergas menggeleng saat Nadiya hendak menyuapkan obat ke mulut Bergas.

"Mau muntah? Sebentar Mama ambilin wadah."

"Aku bisa ke kamar mandi." Ujar Bergas sambil berusaha turun dari tempat tidur namun ditahan oleh Papanya.

"Kamu tuh ga bisa ke kamar mandi Bergas."

"Bisa."

"Jangan keras kepala Sa Bergas!"

Bergas sama sekali tidak menghiraukan larangan orang tuanya. Ia tetap memaksakan diri menuju kamar mandi yang hanya berjarak beberapa meter darinya.

Ia terhuyung. Kakinya sudah menapak di dinginnya lantai, namun Bergas merasa seolah melayang. Baru beberapa langkah namun seolah ada benda tajam yang sedang menghujam kepalanya. Ia kalah, tubuhnya bertumpu pada Papanya yang sejak tadi menjadi kekuatannya. Mualnya sama sekali belum hilang dan kini pandangannya berputar.

Sa Bergas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang