"Kenapa sih? Biasa aja kek ngeliatinnya!"
Baru jam pelajaran ke-2, tapi dua manusia di dekat Bergas sudah memberikan tatapan khawatir sekaligus mengintimidasi. Bergas risih ditatap seperti itu. Teman-teman sekelasnya yang lain sibuk akan berganti baju, tapi Tasya dan Adit masih betah duduk di tempatnya.
"Muka lo pucet banget goblok."
Bergas berdecak, "Emang dasarnya gue putih."
"Putih sama pucet beda, jancuk!" Emosi Adit.
Tasya menyilangkan tangannya di depan dada, menelisik wajah pias Bergas, "Ini sih kaya mayat ..."
"Udah ga usah ikut olahraga."
Ucapan Tasya ada benarnya, nyatanya tubuhnya memang sedang tidak baik. Memaksakan pun hanya akan memperburuk keadaan. Lagi pula pihak sekolah juga mengetahui kondisi kesehatan Bergas, jadi untuk mendapatkan perizinan tidaklah sulit.
"Yaudah sana kalian olahraga, ngapain masih di sini?" Ucap Bergas sambil menjatuhkan kepalanya di meja dengan menjadikan lengannya sendiri sebagai bantal.
"Tolong izinin gue ke Pak Fajar ya? Kalo gue diminta menghadap beliau langsung, samperin gue ke sini."
"Lo ga istirahat di UKS aja?" Saran Tasya.
"Kata gue si lo mending pulang aja." Imbuh Adit.
Dengan lemas Bergas menggeleng, "Di sini aja. Sprei UKS ga pernah ganti, bau."
"Damat dah!"
"Kalo sakit tuh ga usah masuk sekolah! Kerajinan si lu!" Omel Adit.
"Orang tadi pagi gue ga kenapa-napa, baru berasa pas nyampe sekolah." Bergas membela diri.
Malas berdebat dengan bergas, akhirnya Tasya dan Adit benar-benar pergi keluar kelas untuk mengikuti mata pelajaran PJOK. Di kelas hanya tersisa Bergas seorang diri, tadi beberapa anak yang keluar terakhir sempat menyapa dan mengajak Bergas untuk keluar. Namun hanya dengan melihat Bergas mengacungkan jempol dan wajahnya yang pucat, mereka langsung paham.
Suasana kelas yang sepi sangat mendukung Bergas untuk tidur. Tentu dengan posisi yang sangat buruk, yaitu menelungkupkan kepalanya di meja. Padahal semalam ia sangat yakin jika hari ini kondisinya akan membaik, tapi ternyata tidak.
Tiga puluh menit berlalu, samar-samar Bergas mendengar langkah kaki seseorang memasuki kelas. Bergas mengernyit sebelum membuka mata. Ingin mengomel karena pikirnya itu Adit atau Tasya, tapi urung. Orang yang menggangu tidurnya adalah orang yang paling Bergas benci beberapa bulan terakhir.
Dengan malas Bergas menegakkan duduknya, lalu menatap sinis orang yang baru saja datang.
Rayyan tersenyum miring, "Bolos olahraga lo?"
"Bukan urusan lo." Sahut Bergas malas.
"Cih, dasar penyakitan."
Bergas menghela napas pelan, berusaha untuk tetap sabar, "Langsung aja deh, kak. Kakak ke sini mau ngapain lagi?"
Sungguh Bergas sangatlah muak tiap kali melihat wajah Rayyan. Gara-gara dia hidupnya jadi rumit.
Rayyan sendiri tidak langsung menjawab. Dengan gayanya yang memang selalu sok cool, dia menarik salah satu kursi untuk didudukinya.
"Gue cuma mau lo jauhin Tasya." Ucap Rayyan.
Bergas hanya mengangkat sebelah alisnya, tanpa menyahuti. Menunggu kalimat apa lagi yang akan keluar dari mulut Rayyan.
"Tasya putusin gue gara-gara lo. Dan gue yakin lo yang udah ngehasut Tasya supaya ga mau balikan lagi sama gue."
Bergas terkekeh, "Lo gila ya kak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sa Bergas
Teen FictionSakitnya Bergas adalah keping luka untuk semua orang. 31/12/19