12.30
Nara dan Anin berjalan menuju kantin. Mereka telah selesai melaksanakan salat duhur. Setelah Nara ikut meeting dengan Bian, dia memutuskan untuk mengajak Anin istirahat. Menu hari ini berbeda, bukan bakso dan es teh milik Bu Nani, melainkan batagor Pak Bambang dan es cappuccino milik Bu Siti. Anin pun duduk sedangkan Nara memesan makanan dan minuman. Sejauh mata memandang, Anin melihat bosnya dengan putri kecilnya, tak lupa dengan Hanna. Anin memang sudah mengenal Hanna sejak dahulu awal dia bekerja.
Tak lama Anin menunggu, Nara sudah kembali dengan membawa dua piring batagor dan dua gelas es cappuccino. Nara pun duduk di depan Anin. Mereka berdua makan dengan diikuti bercanda. Semua hal mereka bahas. Padahal setiap hari bertemu, tetapi ketika bercerita begini seperti lama tidak bertemu.
Anin teringat akan satu hal. "Kamu ngga main lagi sama anak Pak Bos?" Ledek Anin pada Nara yang tengah mengunyah batagor. "Apaan, sih. Emang harus? Kan, engga." Jawab Nara.
"Ya, kan, biasanya kamu main gitu. Makin deket aja keliatannya." Anin menaik-turunkan alisnya. Tiada hari tanpa meledek. "Nin, please." Jawab Nara membesarkan bola matanya tanda geram. Anin yang melihat hal itu langsung tertawa terbahak-bahak.
Lima belas menit mereka menikmati makan dan minum, tak terasa waktu istirahat telah habis. Nara mengambil mukena dan ponselnya di meja, kemudian berdiri untuk kembali ke ruangannya bersama Anin. Belum juga satu langkah meninggalkan kantin, Nara merasa terpanggil. Ternyata itu suara Kaila.
"Tante Nara." Kaila berlari menuju Nara. Nara tertegun, bocah kecil ini memang sangat menggemaskan. "Kenapa, Sayang? Jangan lari-lari, dong." Nara pun berjongkok menyejajarkan tingginya dengan Kaila. Terlihat Bian dan Hanna pun berjalan menuju Nara.
"Bu, Pak." Sapa Anin pada kedua orang di depannya itu.
"Tante, main lagi, yuk? Kaila bosen main leggo terus." Nara pun bingung harus bagaimana, di satu sisi dia harus mengerjakan laporan final, di sisi lain dia juga ingin refreshing. "Kaila, maaf, ya, tante harus kerja. Soalnya ada beberapa hal yang harus tante selesaikan. Nanti kalau sudah selesai, kita main, ya." Jawab Nara dengan senyum. Berbeda dengan Kaila yang justru menekuk wajahnya.
Kaila pun mundur satu langkah dari depan Nara. "Kenapa, sih? Ayah sibuk, Tante Nara sibuk. Sibuk semua." Kaila tiba-tiba berlari meninggalkan Nara, Bian, Hanna, dan Anin. "Kaila." Panggil Hanna yang terkejut cucunya berlari meninggalkannya. Hanna memutuskan untuk mengejar Kaila.
Nara menjadi tak enak hati, gara-gara dia menolak permintaan Kaila, Kaila menjadi marah. "Pak, saya mohon maaf, ya, Pak. Kalau saya udah bikin Kaila marah." Kata Nara sambil berdiri. Anin hanya diam melihat dua orang yang aneh ini. Seperti suami istri yang sedang merajuk karena masalah anaknya, eh.
"Kamu bisa temani anak saya main?" Tanya Bian. "Tapi, Pak..."
"Ngga papa, nanti saya kasih kelonggaran waktu buat kamu mengerjakan dokumen untuk PT Gemilang. Lagian hanya tinggal sedikit, kan?" Nara mengangguk. "Karena saya ngga mau putri saya marah seperti tadi." Kata Bian berlalu pergi meninggalkan Nara dan Anin yang masih terbengong.
Anin yang menyadari keanehan itu langsung saja angkat bicara sambil menggelengkan kepala. "Keren. Satu langkah lebih dekat." Selanjutnya Anin pun tertawa. Nara hanya memukul lengan Anin. Nara mengerti apa yang dimaksud oleh Anin walaupun ucapan Anin hanya tersirat seperti tadi.
Mereka berdua pun berjalan menuju ruang kerja. Namun, saat akan berbelok menuju ruang kerjanya, Nara memutuskan untuk mencari Kaila dan Hanna. "Aku mau cari Kaila dulu, ya." Kata Nara meninggalkan Anin. Anin pun menuju ruang kerjanya.
–
13.00
Nara tahu, sepertinya Kaila berlari menuju taman kantor. Nara pun memutuskan untuk ke sana. Mendapat kelonggaran oleh bosnya seperti ini harus dimanfaatkan dengan baik sebelum negara api menyerang kembali alias sebelum pekerjaan menumpuk lainnya ada di depan mata Nara. Sesampainya Nara di taman, Nara celingak-celinguk mencari keberadaan Kaila. Benar adanya, di bangku taman berwarna putih terlihat Kaila yang sedang dipeluk oleh Omanya itu. Dari kejauhan Nara bisa melihat kalau Kaila menangis. Dengan langkah gontai, Nara menyambangi Kaila dan Hanna.
Hanna yang menyadari akan kehadiran Nara pun seperti sedikit heran. "Kok, kamu di sini? Katanya kamu ada kerjaan?" Tanya Hanna. "Ngapain tante di sini? Kan, tante sibuk." Nara tertegun mendengar perkataan Kaila.
"Iya, Bu. Seharusnya memang begitu, tapi Pak Bian memberikan saya kelonggaran waktu untuk mengerjakan pekerjaan saya dan saya diperintahkan untuk menemani Kaila bermain." Jawab Nara sesopan mungkin dan tak lupa dia tersenyum disetiap ucapannya. Hanna mengangguk, kemudian dia mencoa berbicara dengan Kaila yang terlihat sangat sedih.
"Nih, Tante Nara udah di sini, masa mau cemberut, masa mau nangis terus? Nanti Tante Naranya pergi lagi, loh." Kata Hanna membujuk bocah lima tahun yang berada di dekapannya itu. "Ayo, katanya main. Tante udah di sini atau mau ngga jadi main?" Nara memutuskan untuk berjongkok agar terlihat lebih mudah untuk membujuk Kaila.
Kaila yang sudah sedikit membaik beringsut turun dari pelukan Omanya. "Ayo, Tante." Kaila menggandeng tangan kiri Nara. "Ibu saya ajak Kaila main dulu, ya." Pamit Nara pada Hanna. "Jangan jauh-jauh, ya. Saya tunggu di sini." Kaila dan Nara serentak mengangguk.
Kaila dan Nara pun bermain dengan senangnya. Dari mulai Kaila naik ayunan dan Nara yang mendorong, Kaila bermain perosotan yang kemudian ditangkap oleh Nara, hingga lari bolak-balik ke sana kemari. Hanna yang melihat kejadian di depannya ini merasa ikut bahagia. Sudah lama dia tak melihat senyum dan tertawa lepas Kaila.
Tiga puluh menit mereka bermain, Nara menyerah. Ternyata umurnya sudah tidak lagi muda yang menjadikannya cepat ngos-ngosan. Nara pun memilih untuk minggir dan melihat Kaila yang sedang bermain dengan anak-anak lain. Iya, mungkin itu putra-putri karyawan PT Adiwarna yang juga terkadang ikut walau hanya sebentar. Bian tak melarang siapapun untuk datang ke kantornya, asal tidak menimbulkan keributan dan tidak mengganggu jalannya pekerjaan orang-orang yang bersangkutan.
Hanna yang melihat Nara sedang berada di pinggir ayunan pun memanggilnya, "Sini." Panggil Hanna sambil menepuk bagian kosong yang berada di sebelah kanannya. Nara pun meminta izin untuk duduk.
"Terima kasih, ya, kamu sudah membuat cucu saya bisa tertawa lepas kembali setelah sekian lama."
Nara yang baru mengetahui hal itu merasa senang, "Iya, Bu. Sama-sama."
"Panggil tante aja, biar ngga keliatan kaku." Kata Hanna kemudian tertawa sedikit. "Oh, iya, kalau saya boleh tahu, umur kamu berapa Nara?"
Nara pun menjawab, "24 tahun, Bu." "Tante." Nara langsung meralat ucapannya itu.
Nara dan Hanna pun mengobrol kesana-kemari. Mulai dari rumah Nara berada di mana, hingga ternyata Nara mengetahui bahwa Kirana adalah teman Hanna. Iya, teman SMP dulu. Sungguh cerita yang tak terduga.
Kaila pun berlari menuju Hanna dan Nara. "Udah mainnya? Cape?" Tanya Hanna yang melihat Kaila sudah susah bernapas karena lelah dan keringat yang membasahi seragam sekolahnya. Kaila hanya mengangguk. Nara pun membantu Kaila untuk duduk di tengah diantaranya dan Hanna.
Nara merapikan poni dan rambut Kaila yang sudah berantakan karena bermain tadi. Benar-benar seperti sedang merawat anaknya sendiri. "Ya, ampun, Sayang. Bajunya sampai basah begini." Nara juga tak lupa merapikan seragam Kaila.
Saat Nara sedang merapikan baju Kaila, tiba-tiba Kaila menyeletuk, "Tante, kalo Tante Nara jadi bundanya Kaila, tante mau, ngga?"
.
Wah, wah, wah. Ternyata Kaila satu langkah lebih cepat dibanding Bian, eh.
-to be continued-
⭐ jangan lupa pencet bintangnya; terima kasih♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...