(S2) 19. Hidup Segan Mati Tak Bisa

1.7K 113 4
                                    

Miya mendorong kursi roda mantan Ibu Mertuanya menuju pintu rumah orang tuanya.

"Ma, Pa, Miya mau tinggal di sini untuk sementara." Ucap Miya saat orang tuanya membukakan pintu.

Melihat raut wajah Miya , mereka segera membawa Miya masuk. Mereka membaringkan Ibunya Vino itu di sebuah kamar kosong dan mengajak Miya duduk di ruang tamu.

"Nak, ada apa? Kamu sedang ada masalah?" Ayahnya bertanya.

Miya bersimpuh di lantai dan mencium kaki kedua orang tuanya. "Ma, Pa, Maafin Miya..."

Kaget dengan keadaan Miya, Ibu Miya segera Miya memeluknya. "Kenapa, Miya. Cerita sama Mama. Kenapa?"

"Miya pernah jadi pelacur, Ma. Miya pernah jadi pelacur, Pa." Miya kemudian menceritakan semua yang dialaminya sejak menikah dengan Ryan hingga saat ini. Tak berani menatap wajah orang tuanya, Miya terus bersimpuh dan memeluk kaki mereka.

Ayah Miya meraih bahu Miya untuk berdiri bersamanya. Dengan cepat, sebuah tamparan berlabuh di pipi Miya. Ibu Miya menjerit dan menangis. "Itu hukuman karena kamu menjadi pelacur dan sudah membohongi orang tua" Ujar Ayahnya pelan.

Tak bisa Miya kira sama sekali, kali ini Ayahnya menampar diri sendiri. "Dan ini hukuman untuk Ayah, karena tidak bisa melindungi anak Ayah selama ini."

Ayah Miya memeluknya. "Sekarang Miya jangan pikirkan apa-apa lagi, ya. Semua sudah berlalu, kita semua sama-sama salah."

Miya merasa bersyukur karena inilah yang ia dapatkan sekarang. Kasih sayang orang tuanya.

Miya teringat kembali dia sempat berdiri di atap gedung rumah sakit. Melihat kebawah dan tersenyum merasakan semua penderitaannya bisa selesai jika ia melompat dari sini.

Sebenarnya dari mana kesalahan hidupnya dimulai? Karena ia mengizinkan Alex kembali padanya? Atau sebelum itu? Saat ia meminta tolong pada Alex untuk menyelamatkannya? Atau sebelum itu? Saat ia menerima tawaran Vino menjadi pelacur? Atau sebelum itu? Saat Miya mencintai Ryan tanpa tau maksud dari kehadirannya di hidup Miya.

Namun Miya menyadari, jika Ia mati Ia akan memberikan penderitaan pada orang tuanya. Alex juga akan menyalahkan diri. Seperti apapun ia tidak ingin menjalani hidup, Miya tidak bisa mati seperti keinginannya. Miya juga teringat Ibunya Vino dan Ryan yang saat ini mungkin kelaparan.

Jadi Miya menuju ke kantor polisi dan menemui Vino untuk meminta alamat rumah mereka yang baru. Miya merasa benci pada diri sendiri yang bisa-bisanya menyelamatkan hidup orang lain padahal ia sendiri ingin mati. Tapi Miya tidak bisa mengabaikan apa yang ada dihadapannya. Rumah mereka sangat berantakan, pampers Ibu tergeletak begitu saja di sudut kamar. Siapapun yang mengurus ibu pastilah tidak becus.

Menantang resiko diusir dan dibenci oleh orang tuanya, Miya memilih untuk tinggal bersama orang tuanya. Setidaknya melihat orang tuanya, Miya lebih bisa memilih langkah yang tepat.

Sekarang melihat orang tua Miya, Miya tahu Ia sudah melakukan hal yang tepat. Entah Ia adalah seseorang yang bodoh atau semesta memang mempermainkannya. Tapi Miya tidak bisa menyerah begitu saja, mungkin ia sudah retak-retak tapi ia belum hancur lebur. Miya masih bisa berjuang untuk hidup. Miya ingin melihat sejauh mana semesta ingin mengajaknya bercanda.

******

Hari ini Miya menuju rumah sakit tempat Ayah Miya dirawat. Teringat ucapan Alex yang mengatakan Ayahnya gagal hati, Miya mencoba menemui dokter yang menanganinya.

"Bu Miya siapanya Pasien?" Tanya sang dokter. Miya membaca nametag di jasnya. Dokter Riedl.

"Anak pasien adalah teman baik saya." Ucap Miya. "Bagaimana kondisi pasien, dok?"

"Hatinya sudah sudah rusak dan pasien perlu donor hati. Kami sudah menguji beberapa calon pendonor namun semuanya tidak layak." Miya sudah mencari tau tentang donor hati semalaman. Ia tau mendonorkan hati tidak terlalu berisiko dibanding mendonorkan organ lain. Hati bisa meregenerasi dirinya sendiri walau sebagian telah diangkat.

"Termasuk Alex?" Tanya Miya

"Jaringan Pak Alex sebenarnya cocok dengan Ayahnya namun karena pak Alex sering mengonsumsi alkohol dan merokok, kondisi hatinya kurang layak menjadi pendonor."

Miya bersyukur ia tidak merokok dan mengonsumsi alkohol selama dua tahun lebih. "Apa saja syarat untuk menjadi pendonor, dok?"

"Bu Miya ingin menjadi pendonor?"

Miya mengangguk. "Jika memungkinkan."

Dokter Riedl tersenyum, "Sepertinya hubungan Anda dengan pasien cukup dekat, ya."

"Alex adalah orang yang sangat penting untuk saya. Saya banyak berhutang Budi padanya. Saat ini, kebahagiaannya terganggu karena kondisi kesehatan Ayahnya dan saya tidak bisa membiarkan hal itu."

Dokter Riedl mengangguk mengerti. "Baiklah, mari kita jadwalkan tesnya."

"Dok, apa bisa identitas saya dirahasiakan?" Tanya Miya lagi.

"Atas alasan apa?"

"Mereka akan terbebani jika tau saya yang mendonorkan hati. Saya tidak mau sikap mereka berubah pada saya hanya karena saya melakukan hal kecil seperti ini."

"Baiklah, nanti saya buatkan surat perjanjiannya."

Miya menanyakan hal terakhir. "Jika Ayah Alex sudah menjalani transplantasi hati, apakah hidupnya bisa diselamatkan?"

Dokter Rield mengangguk lagi. "Betul. Jika hasil tes menunjukkan kecocokan dan operasi transplantasi hati berhasil, maka umumnya masa hidup pasien bisa bertambah sekurang-kurangnya lima tahun. Jika pasien adalah anak kecil masa hidupnya bisa bertambah hingga sepuluh tahun. Namun, angka yang kami sebutkan adalah fakta medis yang dibuat oleh manusia, kehidupan pasien kembali lagi pada takdir yang dibuat Tuhan."

Miya mengingat keinginan Alex untuk menjadi anak yang baik. Miya harap waktu yang dimiliki Alex cukup untuk membahagiakan Ayahnya. Miya pulang ke rumah sambil membawa jadwal  tes, berharap dengan sangat semoga hatinya cocok dengan Ayah Alex.

__ __ __ __ __ __ __ __ __ __ __ __ __ __

Kalau berkenan, author mau buka QnA. Kalian bebas tanya apa aja di kolom komentar. 😊

Poor SecretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang