21. Alasan untuk hidup

4.2K 150 2
                                    

"Alex, jelaskan padaku. Setelah semua ini, bukankah tidak ada artinya lagi aku hidup? Untuk apa aku hidup?"

Mendengar ucapan Miya, Alex merasakan jantungnya berhenti berdetak dalam sepersekian detik. Alex memeluk Miya. Rasa takut yang teramat sangat merasukinya.

"Jangan, Miya. Jangan pernah berpikir seperti itu. Jangan pernah." Miya masih saja menangis. Alex kalut sekali, wanita ini sampai memikirkan hal itu. Berbahaya sekali.

"Miya... Aku mohon... Jangan begini... Ini justru jalan untuk kebahagiaanmu. Masalah ini akan terlewati. Kau masih punya orang tua kan? pikirkan orang tuamu. Pikirkan orang-orang yang menyayangimu dengan tulus."

Tolong, pikirkan aku. Memikirkan kehilangan Miya, dan membayangkan Miya mengakhiri hidupnya sendiri, terasa seperti mimpi buruk untuk Alex.

"Maaf, aku konyol sekali ya..." Miya menghapus air matanya. Berusaha tenang.

Alex memegangi tangan Miya, "Sama sekali tidak konyol, Miya. Aku tau. Aku paham ini pasti sulit sekali untukmu. Tapi sesulit apapun, jangan pernah berpikir seperti lagi."

Miya mengangguk. "Maaf..."

Alex menggeleng, "Jangan. Jangan minta maaf. Berjanjilah hal itu tidak akan ada dipikiranmu lagi. Kalau pun kau merasa tertekan seperti apapun, katakan padaku. Jangan kau pendam sendiri. Oke?"

Miya menangis lagi. "Kenapa kau baik sekali padaku, Alex?"

"Kita teman, kan? Tidak butuh alasan untuk baik pada teman, Miya."

Alex menatap Miya, wanita ini sedang berusaha menahan tangisnya. Hati Alex terenyuh melihat betapa keras usaha Miya untuk tetap tegar. Miya tidak pantas hidup seperti ini. Miya pantas bahagia. Alex berjanji dalam hati untuk membantu Miya melepaskan diri dari orang-orang biadab itu.

Ada bunyi telepon. Dan itu bukan dering panggilan handphone Alex. Alex melihat Miya bangkit dan mengambil handphone dari tasnya. Dengan wajah bingung, Miya menunjukkan sebuah nama yang muncul di layarnya.

Panggilan masuk dari Grace.

"Tidak perlu diangkat, Miya. Biarkan saja"

Miya terlihat cemas. "Bagaimana kalau Grace curiga?"

Alex tertawa mengejek. "Biarkan saja dia berasumsi semaunya. Aku justru senang membayangkan betapa kalutnya dia sekarang."

Alex mengambil ponselnya dan menelpon orang suruhannya. Alex menekan tombol loadspeaker agar Miya juga bisa menyimak.

"Jelaskan situasi di sana." Alex membuka percakapan.

Suara serak di ujung telepon menjawab, "Tahanan kita aman, Bos. Sesuai arahan kami menjaganya dengan baik. Dia dalam kondisi sehat, cukup makan, dan tidak terluka sama sekali."

Alex mengamati wajah Miya. Miya terlihat lega dan khawatir dalam waktu yang bersamaan. Alex merasakan seperti ada perih di hatinya. Pasti Miya sangat mencintai banci itu.

"Untuk target kita," Suara serak itu kembali menjelaskan. "dia masih sulit diajak bekerja sama. Kami sudah menghapus permanen semua video dari komputernya, tapi hacker kami menemukan dia sudah pernah menyalin video-video itu ke sebuah memory card, dan kami sedang memaksanya menyerahkannya. Saat ini, dia masih tidak mau menyerahkannya, tapi kami yakin ini hanya masalah waktu."

Alex cukup puas, setidaknya tidak banyak halangan yang ditemukan. "Percepat waktunya." Alex memerintah.

"Kami pastikan dia akan menyerah secepatnya."

Alex menutup teleponnya.

"Kau dengar itu? Videomu bisa kita dapatkan. Kau tidak perlu khawatir soal itu. Setelah ini selesai, berpisahlah dengan suamimu. Jangan hiraukan dia lagi." Alex ingin Miya segera lepas dari orang-orang itu.

Miya terlihat sedih. "Bagaimana dengan ibu mertuaku?"

Alex ragu-ragu, "Aku tau kedengarannya kasar. Tapi aku lebih suka kau berpisah dengan Ryan, jangan berhubungan lagi dengannya. Itu termasuk jangan mengurus Ibunya lagi, Miya. Tidak kah kau berpikir? Uang mereka harusnya sudah sangat banyak sekarang. Kau harus liat rumah kedua mereka, rumah itu cukup mewah. Mereka bisa menyewa orang untuk mengurus Ibunya. Kenapa harus kau yang mengurusnya?"

Miya terdiam sejenak. "Aku tau yang kau ucapkan benar. Aku hanya merasa ini sangat tiba-tiba. Aku bahkan masih tidak mau percaya ini nyata terjadi"

Yang diucapkan Miya benar. Miya baru saja mengetahui kenyataan ini kemarin. Ini sangat tiba-tiba. Sebenarnya jika ini dialami oleh wanita lain, mungkin akan berbeda reaksinya. Miya setegar ini saja sudah luar biasa.

"Maaf aku kurang peka pada perasaanmu, Miya. Pelan-pelan saja. Setelah ini selesai pun, kau boleh menggunakan apartemen ini selama yang kau mau. Aku jarang menggunakan apartemen ini. Aku lebih sering tidur di hotel dekat kantor atau di rumah ayahku."

Miya terlihat bingung, "Kenapa aku harus di sini?"

Melihat Miya yang tidak mengerti, Alex jadi ragu. "Ku pikir, mungkin berada di rumah akan membuatmu sedih. Kau taulah, kenangan pahit dan semacamnya."

Miya menggeleng dengan tegas. "Tidak, Alex. Itu rumahku. Rumah orang tuaku. Aku harus berada di sana dan membereskan semuanya. Aku juga harus lebih memperhatikan orang tuaku, mereka sudah tua. Mungkin aku akan mengajak mereka tinggal bersama. Entah di rumah itu atau di rumah yang satunya."

Alex tersenyum. "Aku malu padamu."

"Malu kenapa?"

"Kau sangat tegar, Miya. Kau tegas pada hal-hal yang kau anggap benar. Dan setelah semua yang terjadi padamu, kau masih bisa memikirkan orang-orang terdekatmu. Sedangkan aku, menghadapi Ayahku saja aku bisa mudah frustasi." Alex tertawa.

Miya menunduk. "Aku jarang dipuji orang lain. Rasanya aneh mendengar itu darimu."

Alex mengamati wajah Miya. Alex tidak mengerti kenapa sekarang apapun yang Miya rasakan menjadi penting baginya. "Kau sudah merasa lebih baik?"

Miya mengangguk. "Ya. Terima kasih, Alex. Aku bersyukur ada kau di sini menemaniku. Jika kenyataan ini aku hadapi sendiri, aku juga tidak tau bagaimana jadinya."

"Aku senang bisa membantumu."

Alex menatap sandwich yang terabaikan. "Sandwichku yang malang." tanpa sadar Alex berkomentar.

Miya terlihat terkejut. "Ya ampun, Alex. Maaf. Aku makan ya."

Alex menggeleng. "Sudahlah, mungkin kau memang tidak mau makan sandwich."

Miya terlihat bingung, "Apa lagi yang ada di dapurmu?"

"Tidak tau, mie instan? mungkin?" Alex malu-malu.

Miya menghela napasnya. "Ya sudah, biar aku yang buat mie-nya. Kau sudah membantuku sejauh ini, kalau kau sampai tidak makan karena aku, aku juga akan merasa bersalah."

Alex memandang Miya yang bangun dan berjalan keluar kamar. Alex menyadari rasa kagumnya pada Miya semakin besar. Bagaimana seseorang bisa sepositif ini. Miya baru saja mengalami hal yang cukup pahit, dan sekarang malah mengkhawatirkan Alex yang belum makan.

Sepertinya, Alex menyukai Miya lebih dari yang Alex duga. Tapi Alex tidak yakin, apa Alex menyukainya dengan tulus atau hanya karena kasihan. Atau malah hanya karena Miya sangat menggairahkan bahkan dalam kondisi seperti ini.


______________________________
Follow aku. Berikan vote jika kalian menyukai ceritanya. Juga berikan kritik, saran dan apresiasi di kolom komentar agar aku selalu semangat untuk menulis. Terima kasih. Enjoy in Wattpad. 😊

Poor SecretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang