Saya Dulu

33.5K 2.4K 31
                                        

Tubuh padat berisi Renata dibaringkan perlahan diatas ranjang. Kedua mata itu masih setia terpejam, bahkan ketika Devan mengangkatnya dan hampir terjatuh beberapa kali, tak juga membuat Renata bangun.

Kenapa si Rena selalu pake cardigan ya?

Nggak panas apa gimana sih?.

Devan mengela nafas, dengan hati-hati ia melepas cardigan yang dikenakan Renata. Mulai dari sebelah kanan dan berakhir ditangan kiri

"A... apa?"

Nafas Devan tertahan, matanya melotot menahan keterkejutan. Dengan gerakan perlahan ia menyentuh lengan Renata, yang dipenuhi oleh berbagai macam luka goresan. Bahkan beberapa diantaranya terlihat masih basah, sepertinya baru dibuat oleh gadis itu.

"Ternyata benar kata dokter,"

Saking sibuknya mengamati, ia tidak sadar jika kegiatannya mengganggu ketenangan Renata. Alhasil gadis itu tersadar dari mimpi yang membuatnya terbuai sesaat.

Renata menatap langit-langit kamar, kemudian beralih pada Devan yang tengah mengusap lembut lengannya. Kesadaran gadis itu belum sepenuhnya terkumpul,butuh waktu beberapa saat sampai kedua bola matanya terbelalak.

"K... Ka Devan?"

Keduanya sama- terkejut, terlebih Devan karena Renata tiba-tiba saja meneriakkan namanya. Ditambah lagi Renata menarik paksa tangannya yang tengah dipegang Devan.

"Kenapa kakak ada disini?"

"Ka... kakak lihat semuanya?" cicit Renata ragu.

"Apa sakit?"

Renata membuang muka "Ng... nggak, aku nggak papa."

Renata kembali menatap Devan lekat dengan sebuah senyum yang dibuat seindah mungkin.

"Aku nggak papa kok, jangan khawatir."

"Pembohong. Kenapa nggak pernah cerita kalau kamu nggak baik-baik saja?"

"Aku nggak papa ka, serius deh." ucapnya coba meyakinkan, jarinya membentuk lambang peace.

Devan duduk disamping Renata, netra mereka saling bertemu dan menyelami semakin dalam. Helaan nafas berat terdengar, tangan Devan terangkat mengusap puncak kepala Renata dengan sebuah senyum. Senyuman itu terlihat tulus, berbeda dengan milik Renata. Bahkan kedua manik lelaki itu tidak memancarkan rasa iba melainkan kasih sayang.

"Kata 'nggak papa' itu. Bukankah kamu lelah, mengatakan itu setiap hari?"

Devan menarik kedua tangan Renata lalu menggenggamnya erat, sekali lagi tatapan mereka kembali bertemu.

"Nggak papa kalau kamu mau mengatakan, kalau kamu jauh dari kata baik-baik saja. Saya ada disini, kamu bisa membagi semuanya dengan saya."

"Saya akan mendengar semua cerita dan keluh kesah kamu, bahkan saya merasa senang bisa membagi semuanya."

Renata menggeleng "A... aku baik ka. Aku udah sering merepotkan kakak, aku nggak mau kalau..."

"Siapa bilang kamu merepotkan?" sela Devan, nada bicaranya berubah dingin.

Susah payah Renata menelan salivanya sendiri, aura Devan yang dulu kembali keluar.

"Saya nggak pernah berpikir jika kamu merepotkan, jika pun iya. Saya lebih suka direpotkan oleh kamu, orang yang saya cinta."

Deg

Renata mengamati ekspresi Devan, tidak ada kebohongan disana. Hanya ada ketulusan dan cinta dikedua manik tajam yang perlahan mulai melembut itu.

RENATA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang