D-DAY

191 33 37
                                    

Setelah aku membanjiri taman dengan air mata, aku beranjak pergi..

langkahku gontai, dadaku sesak. Berulang kali aku mengatakan “bodoh” pada diriku sendiri. 5 tahun bersamanya tidak membuatku sadar dengan perubahan yang terjadi. Hari ini, aku hanya ingin berjalan mengikuti kata hatiku, kemanapun ia membawaku, aku tidak akan menolaknya.

Sampai pada akhirnya, ia membawaku ke sebuah apartment.

Apartmen yang menjadi persinggahanku sesaat setelah diculik. Aku mengingatnya lagi, goresan luka yang dalam di lengannya, bagaimana ia mengobatinya sendirian? Ku tatap nanar apartmen itu, lama sekali. Sampai, orang yang ku tuju keluar dari sana. Ia melihatku dari kejauhan, ia terkejut. Kemudian menghampiriku.

“apa yang kau lakukan disini?” katanya dengan nada yang gemetar.

wae? sampai kapan kau akan menyembunyikannya?” sahutku dengan air mata yang mulai mengalir lagi. Setelah melihatnya, dadaku semakin sesak.

Dia terdiam sesaat.. “apa wanita itu memberitahumu?” jawabnya.

“kenapa kau tak mengatakannya sejak awal? Kita sudah berjanji, untuk slalu bersama dalam keadaan apapun. Tapi kau mengingkarinya. Kau anggap aku apa? Hanya wanita yang akan menemanimu ketika kau senang?”. Tangisku kembali pecah, kakiku lemah. Kemudian Jinu memelukku.

mianhae..” diapun menangis sambil memelukku, kemudian ia mengelus rambutku dengan lembut.

Jongmal mianhae..akupun terluka.
Memilih meninggalkanmu.. sama saja dengan membunuh diriku sendiri” ia mendekapku dengan sangat erat.

“bagaimana keadaanmu sekarang, apa kau masih sakit?” tanyaku masih dalam isakan.

“semuanya baik-baik saja sekarang” jawabnya masih dengan tangisnya yang perlahan mulai ia tahan.

Aku sangat ingin mendekapnya juga, perlahan ku dekatkan tanganku untuk membalas dekapannnya, tapi aku tersadar, aku tidak bisa melakukannya. Bayangan MJ muncul seolah mengehentikanku. Aku melepaskan pelukannya.

“Jinu-ya, apa yang kita lakukan sekarang, tidak akan mengubah apapun. Aku tetap akan menikah dengan kakakmu..” jawabku getir, kemudian kupalingkan wajahku dari tatapannya.

Dia terlihat hancur, dia berusaha tersenyum, garis senyum yang terpaksa itu terlihat sangat menyakitkan. “aku tidak akan menghentikanmu, asalkan itu bukan orang lain.. aku akan menerimanya, ini adalah resiko yang harus akubtanggung.” Jawab Jinwoo sambil menyeka air matanya. Kemudian ia tersenyum pahit.

ia menekukkan satu lututnya di tanah, wajahnya sejajar dengan perutku.
uri agi.. (anakku..) na appaeyo (aku ayahmu)… appa mianhae..(ayah minta maaf), butuh waktu lama untuk menyapamu.. tapi, ayah selalu memikirkanmu” ia menangis lagi, kemudian.. untuk pertama kalinya, ia mengelus perutku.

Melihatnya melakukan itu, aku semakin merasa sesak. Pemandangan seperti ini, mungkin tidak akan pernah aku dapatkan lagi.

“dia bayi perempuan” sahutku dengan suara yang terdengar parau.

Ia tersenyum bahagia, namun kepedihan itu masih terasa nyata.

“boleh aku menciumnya?” sahutnya.
“emm (mengangguk)..”
argh.. rasa sesak apa ini?

Ia menciumnya dengan sangat lembut. Kemudian memandanginya dan tersenyum lagi.

“baik-baik ya dengan ibumu, jangan membuatnya lelah. Uri agi, sarange.” kemudian ia berdiri dan melihatku.. masih dengan senyuman.

“aku akan mengantarmu pulang, jangan menolakku” sahutnya, aku hanya mengangguk. Setidaknya, aku menikmati hari terakhir bersamanya.

Jalanan yang kami lalui sore itu, terasa sangat singkat. Sebenarnya, aku masih ingin bersamanya. Perasaan itu aku tahan, diapun terlihat menahannya. Sesekali ia menatapku dan tersenyum. Senyumnya palsu. Kami berdua sedang berpura-pura.

Is He Angel? || Jinjin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang