Dua hari kemudian,
Selasa, 16.00
Hari ini adalah dua hari setelah kemarin Nara dilamar oleh Bian. Hari ini adalah hari dimana Nara akan memberikan jawaban. Kemarin, Nara sudah berbicara kepada kedua orang tuanya mengenai keputusan yang akan dia ambil. Nugroho dan Kirana mendukung dan mengiyakan apapun yang akan Nara lakukan. Tak lupa, mereka selalu memberikan nasihat demi kebaikan putri kesayangannya ini.
Saat ini Nara tengah membereskan semua dokumen yang berada di meja kerjanya. Meeting final selesai. Revisi laporan juga sudah tak seberat hari-hari sebelumnya. Dua hari ini Nara merasakan canggung yang amat sangat terhadap Bian. Entah karena apa. Tapi Nara yakin, perasaan canggungnya ini ada hubungannya dengan kejadian tempo hari.
Syukurlah, semesta mendukung Nara. Kecanggungan itu berjalan mulus karena Nara tak setiap waktu bertemu dengan Bian. Padahal, di hari-hari biasanya mereka selalu bertemu. Terhitung Nara bertemu dengan Bian hari ini baru satu kali, saat dia meminta tanda tangan mengenai laporan keuangan, selebihnya nihil.
Saat Nara bersiap-siap untuk pulang, tiba-tiba ponsel yang berada di atas meja kerjanya itu berbunyi menandakan ada sebuah notifikasi masuk. Nara terkejut karena saat dia melihat dari wallpaper depan terpampang jelas nama seseorang, Pak Bian. Dengan cepat Nara membuka pesan itu.
Pak Bian
Saya harap kamu tidak lupa dengan perkataanmu. Hari ini sudah Selasa. Nanti malam saya jemput, kita makan malam bersama.
Nara masih melongo sambil melihat pesan dari bosnya itu. Menggelengkan kepalanya berkali-kali. Menepuk pipi kanan dan kirinya bergantian. Sakit. Memang ini bukan mimpi. Nara meletekkan ponselnya kembali tanpa membelas pesan itu terlebih dahulu. Kedua tangannya menangkup wajahnya sambil berteriak kecil mungkin yang mendengar juga hanya dirinya sendiri. Ponselnya berbunyi kembali.
Pak Bian
Diam berarti iya. Saya jemput jam tujuh malam. Harus sudah siap, saya tidak mau menunggu.
Loh, Pak, memang saya
sudah mengiyakan?Terserah, tapi saya tidak menerima penolakan.
Nara hanya membaca pesan dari Bian. Terserah. Anggap saja dia tidak sopan. Tapi Nara merasa geram. Bisa-bisanya Bian mengajak secara sepihak tanpa ada persetujuan. Nara pun memasukkan ponselnya ke dalam tas yang dia kenakan di bahu tangan kanan.
-
18.45
Sepulangnya dari kantor tadi sore, Nara meminta izin kepada Nugroho dan Kirana bahwa dia akan makan malam bersama Bian. Nugroho pun mengizinkan, juga dengan Kirana. Mereka tahu bahwa hari ini sudah seharusnya Nara memberikan jawaban seperti yang sudah dijanjikan saat itu.
Dari kamar Nara bisa mendegar suara klakson mobil. Nara melihat jam, jam tujuh kurang lima belas menit. Bahkan Nara belum selesai memakai lip cream. Nara melirik jengah, siapa suruh datang lebih awal?
Lima menit setelahnya Nara turun dari kamarnya menuju lantai satu. Dia memakai dress simple berwarna putih, rambutnya dibiarkan tergerai. Make up sederhana saja. Nara pun berpamitan kepada Nugroho dan Kirana yang tengah menonton televisi di ruang keluarga.
Nara keluar menuju teras dan sudah mendapati Bian yang bertengger di depan mobil BMW-nya itu.
"Lama, ya, Pak? Siapa suruh datang lebih awal." Kata Nara sambil menutup gerbang. Dengan adanya lamaran tempo hari Nara terdengar lebih santai ketika berbicara dengan Bian. Bian tidak semenakutkan itu ternyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...