Aku mengerjap beberapa kali saat sinar matahari mengenai wajahku. Siang ini terasa sangat panas, karena itu aku memutuskan untuk masuk ke dalam caffe yang berada di samping kantorku.
Rasanya sejuk sekali saat AC di dalam ruangan caffe menyambutku. Sepertinya aku akan berlama-lama di sini. Selain memesan milkshake, aku juga ingin menumpang istirahat sebentar.
Jika kalian bertanya, mengapa aku tidak istirahat di kantor saja? Dengan senang hati aku menjawab tidak. Walaupun nyaman, kantorku itu sangat berisik. Saat waktu istirahat seperti ini, sudah dipastikan para pegawai akan berkumpul dan bergosip.
Dan, itu adalah hal yang sangat mengganggu.
"Mau pesan apa, Mbak?" kasir bertanya padaku dengan sopan sambil menyunggingkan senyum.
Aku membalas senyuman kasir itu dan mulai menyebutkan pesananku. "Milkshake strawberry sama pancake pisang."
"Makan disini atau dibungkus?"
Aku menyapukan mataku ke sekeliling caffe, suasana di sini sedang sepi. "Makan disini aja."
"Baik, silahkan ditunggu ya, Mbak."
Aku mengangguk dan berjalan ke arah meja yang dekat dengan jendela. Badanku langsung terasa rileks saat baru duduk, maklum saja, sebagian besar kegiatanku berada di luar ruangan. Bukan di kantor. Tapi hari ini, bos memanggilku untuk melakukan survey di dalam ruangan.
Sambil menunggu pesanan, aku membuka ponsel dan mengecek sosial media yang sudah jarang aku pakai. Jika orang-orang seumuranku sangat aktif dalam memainkan media sosial, maka berbanding terbalik denganku. Seiring berjalannya waktu, media sosial bukan lagi hal yang penting bagiku.
Perkenalkan, namaku Aletta Defiona Yuratmo. Gadis berusia 26 tahun yang sampai saat ini masih melajang.
Aku bekerja di Jayaputra Grup, di sana aku menjadi anggota divisi lapangan yang biasanya melakukan survey kepada pembeli. Jika diingat-ingat, ini adalah kunjungan keempatku di kantor. Aku bukan pegawai baru atau pegawai magang. Hanya saja selama tiga tahun bekerja di sini, aku mengirim semua hasil survey melalui email.
Drrt Drrt Drrt
Ponselku bergetar dan menampilkan nama Pak Tono--ketua divisiku--tentu saja aku langsung mengangkatnya. Walaupun sangat baik, Pak Tono bisa berubah menjadi galak jika ada pegawai yang lambat. Terlebih di dalam divisinya sendiri.
"Halo? Kenapa, Pak?"
"Kamu dimana, Ta?"
"Saya di caffe sebelah, Pak. Ada apa ya?"
"Cepet ke kantor sekarang, ada rapat tentang perpindahan divisi."
"Perpindahan divisi? Saya dipindahin, Pak?!"
"Saya juga gak tau, pokoknya kamu cepet balik ke kantor!"
"Baik, Pak."
Setelah Pak Tono mematikan sambungan telponnya, aku buru-buru bangkit dan menghampiri kasir yang sedang melayani seorang pembeli. Semoga saja pesananku bisa dibungkus.
"Maaf, Mbak, pesanan saya yang tadi bisa dibungkus gak?" aku bertanya dengan nada panik.
Tentu saja aku panik, jika aku diikut sertakan dalam rapat perpindahan divisi, maka besar kemungkinan aku akan pindah. Dan, aku tidak ingin pindah. Menjadi bagian dari divisi lapangan adalah sebuah anugerah yang sangat aku syukuri.
"Bisa kok, Mbak. Tunggu sebentar ya." balas kasir itu dan berbalik menuju dapur.
Aku menghela napas lega, setidaknya hari ini aku bisa minum milkshake. Dari ujung mataku, aku melihat seorang pembeli yang belum pergi. Mungkin pembeli itu menunggu pesanannya yang dibungkus juga.
Tunggu.
Kenapa postur tubuhnya seperti tidak asing? Pembeli yang berjenis kelamin laki-laki itu memakai topi dan kacamata, wajahnya tidak terlihat jelas karena dia menunduk dan fokus ke arah ponselnya. Dia mengenakan jaket bomber hitam dipadukan dengan celana olahraga pendek, jangan lupakan sepatu olahraga yang terpasang rapih di kakinya.
Apakah dia...
Buru-buru aku membuang muka, itu memang dia. Tidak, tidak, tidak. Dia tidak boleh sadar dengan kehadiranku.
Ya Tuhan, setelah bertahun-tahun aku tidak bertemu dengannya, kenapa Engkau malah mempertemukan kami disini?
Untung saja kasir sudah kembali sambil membawa dua papperbag, pasti salah satu papperbag itu adalah milik laki-laki yang berada di sampingku.
"Ini pesanan Mbak, dan ini pesanan Mas." kasir memberikan papperbag ke arahku dan laki-laki di sampingku.
Aku mengeluarkan uang dari dalam dompet dengan cepat, lalu memberikan uang itu kepada kasir. "Makasih, Mbak."
Tanpa menunggu respon dari kasir, aku berbalik dan berjalan cepat untuk keluar dari caffe. Saat sudah berada di luar caffe, aku menghembuskan napas dengan lega.
Aku tidak bisa mendeskripsikan perasaanku sekarang, yang aku rasakan hanya tubuhku yang sedikit bergetar, entah karena takut atau gugup.
Aku berusaha mengatur napas dan meyakinkan diriku sendiri bahwa dia tidak melihatku. Atau mungkin, itu bukan dia. Mungkin itu hanya halusinasiku saja.
"Aletta?"
Langkahku berhenti seketika saat mendengar panggilan itu. Aku sangat mengenali suara ini, suara yang benar-benar aku rindukan. Dengan perlahan, aku berbalik dan melihat ke arah orang yang memanggilku tadi.
Dan, memang dia.
Laki-laki itu berdiri menghadap ke arahku dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Dari sini aku bisa melihat raut wajahnya yang terkejut. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, semesta membuatnya hadir di hadapanku.
Dia, laki-laki yang berhasil menjerat hatiku. Laki-laki yang memberikan banyak kebahagiaan kepadaku, laki-laki terbaik yang pernah aku temui. Tapi seperti orang bodoh, aku malah mematahkan hatinya.
Dia, Kevin Sanjaya. Berdiri di hadapanku dengan tatapan yang tidak aku mengerti.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Chance {Kevin Sanjaya}
Teen FictionTentang aku yang mendapat kesempatan untuk bersama dengannya lagi.