Bian sudah mengobati luka Kaila. Tangisnya juga sudah mulai mereda. Memang lukanya tidak cukup besar, hanya saja darah terus menerus keluar. Hanna yang menyadari Nara tidak baik-baik saja pun menanyakan hal itu pada Bian.
"Nara kenapa? Tadi kamu bentak dia?"
Bian pun menengok ke arah belakang, benar saja sudah tidak ada Nara di belakangnya. Bian tersadar jika tadi dia sedikit membentak Nara saat memerintahkannya untuk mengambil kotak P3K.
"Ayah jangan bentak Bunda. Bunda ngga salah. Tadi Kaila yang mau ambil mainan bebek di atas, tapi kepleset." Jelas Kaila. Kaila memang susah berbicara karena bibirnya agak bengkak.
Bian terdengar menghela napas. Bian memang agak kelepasan. Jika Kaila kenapa-napa Bian tidak pernah tinggal diam. Bahkan, pernah saat itu Ncus Nina hampir dipecat karena lalai menjaga Kaila. Alhasil, Kaila jatuh dari ayunan saat bermain di sekolahnya dan mengalami luka yang cukup parah. Ternyata hingga saat ini Bian masih sama. Sangat takut jika ada sesuatu yang terjadi pada putri kecilnya ini.
Hanna yang mendengar ucapan cucunya itu lantas kaget. "Kamu ngga boleh gitu sama Nara. Dia belum terbiasa dengan sifat kamu yang sedikit emosian kaya gini." Hanna mengusap bahu Bian.
"Mungkin Mama, David, Ncus, Mbok Nah, dan Mang Ujang udah biasa, tapi Nara orang baru. Jangan, ya."
Bian mengangguk mengerti. Iya, dia salah. Tidak seharusnya emosi hingga terlewat seperti tadi.
"Ayah jangan marah-marah lagi. Kaila aja ngga suka, apalagi Bunda." Kata Kaila sambil memegang tangan Bian. Bian tersenyum dan mengangguk. "Iya, maafin Ayah, ya."
Hanna dan Bian pun mencoba menghibur Kaila. Lukanya sudah bersih hanya masih sulit untuk berbicara.
-
19.30
Nara masih saja diam sedari tadi. Setelah salat isya berjamaah, Nara bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Mbok Nah yang menyadari Nara terlihat sedikit murung pun lebih memilih diam. Dia tidak pernah mau mencampuri urusan tuan rumahnya itu.
"Udah, Mbok? Saya bawa ke meja makan, ya?"
Mbok Nah mengangguk. Nara membawa sajian makan malam ke meja makan. Di sana sudah ada Hanna, Bian, dan Kaila. Nara meletakkan nasi dan beberapa lauk di meja. Setelahnya, dia duduk di sebelah Bian. Melayani, mengambilkan makan dan minum seperti biasa. Namun wajahnya masih terlihat murung. Lebih banyak diam beberapa waktu ini.
Rasa bersalah Nara semakin tinggi saat dia melihat Kaila kesusahan untuk makan. Bisa, namun terlihat sulit untuk mengunyah. Sedikit-sedikit Kaila memejamkan matanya karena menahan perih.
"Susah, ya, Sayang?" Tanya Nara yang menyadari Kaila tidak bisa mengunyah makanan. Kaila mengangguk.
"Sini, biar Bunda suapin, ya." Nara lebih memilih bersama Kaila untuk mengalihkan kecanggungannya bertemu Bian.
Makan malam terasa hening. Kaila yang biasa mencairkan suasana juga lebih banyak diam karena sulit berbicara. Selesai makan, Kaila pun beringsut turun dari kursi dan berpamitan akan tidur.
"Ma, Nara juga ke kamar dulu, ya." Setelah membereskan meja makan, Nara pun ikut untuk ke kamar.
Hanna menyadari tindak-tanduk menantunya ini tidak baik-baik saja. Dia tahu, ini semua ada hubungannya dengan kejadian Kaila jatuh.
"Bicara sama Nara, gih."
Bian pun berjalan menuju kamarnya.
-
Balkon kamar Bian
Nara berdiri dengan kedua tangannya yang dia sandarkan di tralis yang membentuk huruf L itu. Tatapannya memandang lurus ke depan. Lampu-lampu yang berada di depan rumah Bian menjadi tujuan pandangannya saat ini. Sesekali dia melihat langit yang hanya dihiasi beberapa bintang. Udara dingin masuk ke tubuh Nara yang saat ini hanya menggunakan dress santai lengan pendek dengan panjang hanya sampai lutut. Beberapa kali Nara menggosok kedua telapak tangannya dan menempelkan pada pipinya. Sekadar untuk menghangatkan badan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...