Tarissa Acasha, perempuan berumur 25 tahun yang suka berpindah tempat tinggal. Dia akan tinggal paling lama setahun pada suatu tempat, setelah itu pindah ke kota lainnya. Menurutnya jika tempat itu sudah berisik, maka lekas pindah. Bukan tanpa alasa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🌇🌇🌇
"Gak papa, ya, singgah sebentar ke minimarket?" kata Tarissa tak enak.
Martin melihatnya dari kaca spion. "Gak papa. Aku juga mau beli sesuatu di sana," sahutnya. Lelaki itu memarkirkan motornya di area kosong, lalu melepas helm. Tarissa juga melakukan hal yang sama. "Ayo," ajaknya.
Tarissa hanya tersenyum tipis dan mengabaikan uluran tangan lelaki itu. Dia memimpin jalan, langsung menuju rak yang akan ia beli. Sementara Martin di belakang hanya bisa memukul angin pelan, lalu tersenyum miring.
"Kamu mau beli apa?" tanya Martin, saat melihat perempuan itu melihat-lihat rak berisi makanan ringan.
"Beli cemilan buat nonton nanti malam. Perlengkapan mandi juga abis. Biasalah. Anak kosan," jawab Tarissa santai.
"Ya udah. Ambil aja. Nanti aku yang bayar," ujar Martin.
Tarissa tersenyum lebar di balik masker hitamnya. Meski begitu, masih terlihat matanya berbinar karena bahagia. "Oke!"
"Aku ke sana sebentar, ya. Jangan ke mana-mana. Oke. Aku cuma ke toilet," ucap Martin tergesa-gesa. Tanpa menunggu persetujuan Tarissa, dia segera menuju toilet yang ada di sana.
Tarissa melihat ke arah Martin pergi, lalu kembali melanjutkan kegiatannya tadi. Karena sudah hampir jam 10, tempat ini sepi. Hanya ada dua-tiga orang yang masuk. Jadi dia bisa leluasa untuk memilih.
Awalnya semua terasa damai, hingga saat dia akan membayar, sesuatu yang merepotkan terjadi di depan matanya.
Seorang pria kira-kira setinggi dirinya, sedang berhadapan dengan kasir. Pria itu memakai jaket kulit hitam juga jeans senada, serta masker hitam yang menutup setengah wajahnya. Itu hal normal di jaman ini, tapi, pria itu menunjukkan pistol dari balik jaketnya ke arah kasir tersebut.
"Ugh. Perampokan di depan mata," gumamnya. Dia jadi bingung. Harus mundur atau maju? Atau diam di tempat?
Selain dia dan satu karyawan, ada juga lelaki lain yang tidak jauh darinya. Lelaki itu sedang melihat-lihat minuman di depannya. Tampak tidak terganggu dengan kondisi sekitar.
"Hm. Si kampret itu belum balik dari toilet." Tarissa menghela napas pelan. Dia berbalik, hendak menuju ke arah toilet. Namun, tubuhnya ditarik ke samping oleh seseorang, lalu rak tempat dia berdiri tadi berlubang terkena timah panas.
Suara teriakan karyawan dan sang kasir langsung terdengar. Membuatnya sadar jika tadi dia menjadi sasaran penembakan.
"Bedebah ini," geramnya.
Bagaimana tidak kesal?! Baru juga meleng sebentar, nyawanya hampir hilang. Jika bukan karena lelaki ini menariknya, peluru itu pasti sudah bersarang di tubuhnya dengan indah.
Dia melepaskan diri dari dekapan lelaki tadi, kemudian meraih minuman kaleng dan melemparnya ke arah perampok itu. Kaleng tadi tepat mengenai pelipis perampok itu, membuat luka gores dan berdarah. Pria itu mengerang sakit, dia mengangkat pistol tadi, tapi kaleng kedua meluncur mengenai pergelangan tangannya. Pistol yang pria itu pegang langsung terlempar jauh, jatuh ke kaki Tarissa dengan mulus.
Kejadian itu begitu cepat. Baik perampok dan juga karyawan minimarket tidak bisa bereaksi dengan segera.
"Jangan asal nembak kalau ujungnya ngeghosting, oke?" ucap Tarissa, jelas tidak nyambung dengan kondisi sekitar.
Empat orang termasuk perampok menatapnya bingung. Hanya lelaki di sisinya yang terkekeh pelan dari balik masker hitamnya.
"Telpon polisi!" ucapnya saat melihat wajah bingung mereka. Sempat-sempatnya melongo di kondisi seperti ini. Jika perampok itu kabur, percuma dia hampir mati tadi.
Melihat perampok itu sudah ditahan oleh seorang pembeli dan karyawan minimarket, Tarissa menghadap ke lelaki penyelamatnya. Lelaki itu lebih tinggi darinya. Juga lebih tinggi dari Martin. Membuatnya harus mendongak untuk melihat wajah yang tertutup masker juga. Namun, baru sedetik mata mereka bertemu, dia segera memutuskan kontak mata dan menunduk.
Bukan karena dia takut. Akan tetapi, melihat mata tajam lelaki ini membuat jantungnya berdetak kencang.
Sial!
"Ahem. Terimakasih buat yang tadi. Dan buat lemparan kedua juga," ucapnya. Yeah. Kaleng pertama memang dia yang melempar, tapi yang kedua itu ulah lelaki ini.
"Hm. Sama-sama." Suara berat itu membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. Dia sendiri tidak tahu kenapa tubuhnya bereaksi seperti ini.
Hening lama di antara keduanya. Dengan posisi saling berhadapan tapi salah satunya menunduk menatap lantai dengan gugup.
Setelah detik-detik yang seperti hitungan jam, akhirnya suara Martin membuat suasana tegang menjadi retak.
"Hei! Aira? Kamu gak papa? Aku ... Aku tadi lagi telponan jadi gak tau apa-apa. Kamu gak luka, kan?" Martin segera menyerbunya dengan pertanyaan. Terlihat seperti pacar yang mengkhawatirkan kekasihnya. Setidaknya itulah yang dilihat orang lain.
"Saya gak papa. Cuma mungkin bakal trauma aja. Hampir aja saya disamperin malaikat maut. Sedikit lagi saya bakal mati kalau gak ditolongin. Ugh. Kaki saya kayak jeli. Sebaiknya kita segera pulang. Saya mau istirahat," ujar Tarissa penuh kebohongan. Namun karena Martin tidak melihat kejadian sebenarnya, dia percaya dengan ucapannya.
Hal itu tentu berbeda dengan para saksi yang melihat. Mereka sekali lagi menatap Tarissa dengan sorot aneh. Ingin sekali mereka berseru, "Trauma matamu!" Jelas sekali dia baik-baik saja dan dengan mudahnya melukai perampok bersenjata.
"Ayo kita pulang," ujar Martin. Dia ingin menggenggam tangan Tarissa, tapi perempuan itu sekali lagi menarik tangan kanannya.
"Belanjaannya belum dibayar," kata Tarissa, menunjuk keranjang yang berserakan di lantai.
Tanpa banyak bicara, Martin segera memungut belanjaan perempuan itu, lalu menuju kasir untuk membayar. Sementara itu polisi yang dihubungi sudah tiba.
Tarissa memperhatikan, jika para polisi itu membungkuk hormat ke arah lelaki tadi dan kemudian membawa perampok pergi. Namun, dia sempat mendengar suara dingin lelaki itu yang membuat punggungnya dingin.
"Seumur hidup."
Kedua polisi itu bergetar dan mau tidak mau mengangguk. Mereka bersimpati pada perampok ini. Yang entah bagaimana membuat lelaki itu marah.
Selesai Martin membayar, Tarissa segera membawanya keluar. Sebelum pergi, matanya kembali bertemu dengan mata tajam lelaki itu.
Setelah sudah agak jauh barulah dia merasa lega. Dia bukan takut. Tapi ... Sesuatu dari lelaki itu membuat jantungnya berdetak secara tidak wajar.
🌇🌇🌇
Yups. Biasalah. Saya mageran. Jadinya baru update sekarang. Kalau mau baca, nabung aja dulu. Setelah baca, mohon disebar luaskan. Kalau saya senang kan kalian dapat pahala:)
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.