Tarissa Acasha, perempuan berumur 25 tahun yang suka berpindah tempat tinggal. Dia akan tinggal paling lama setahun pada suatu tempat, setelah itu pindah ke kota lainnya. Menurutnya jika tempat itu sudah berisik, maka lekas pindah. Bukan tanpa alasa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🌇🌇🌇
Brak!
Vian yang sedang duduk dengan laptop di pahanya menatap Tarissa kaget. Perempuan itu tiba-tiba datang dan melempar tas merk Gucci ke atas meja. Seolah dia membeli tas itu dengan daun, bukan uang.
"Bang, periksa dong isinya apa. Bongkar aja. Gak papa, kok," kata perempuan itu. Tarissa duduk di sofa depannya sambil menopang dagu.
"Yakin? Ini mahal, lho," tanya Vian heran. Dia mengambil tas tersebut, menimbang-nimbang beratnya lalu melotot kaget. Dua kali dia dikejutkan oleh perempuan ini. Jika dugaannya benar, dia akan kaget tiga kali!
Tarissa mengangguk malas. "Itu memang tas 'mahal'."
"Dapat dari siapa?"
"Temen."
Vian menutup laptopnya. "Mau nunggu hasilnya malam ini atau besok aja?" tanyanya, melihat jam tangan.
"Besok aja. Mau tidur. Lagian udah tau juga isinya," sahut Tarissa.
"Oke."
Tarissa bangun dan mengucapkan selamat malam. Saat dia beranjak pergi, kalimat Vian menghentikan langkahnya.
"Selamat malam ... Tarissa."
Tarissa berbalik, tersenyum pada lelaki itu. "Gunain kekuasaan buat nyari privasi orang itu ... gak boleh," ucapnya tenang.
Vian juga melempar senyum padanya. "Bohongin polisi juga gak boleh, Tarissa," sahut lelaki itu.
"Anggap kita satu sama." Usai mengatakan itu Tarissa berbalik dan menaiki tangga menuju kamarnya.
Sementara itu, Vian tersenyum makin lebar saat menatap punggung Tarissa yang semakin menjauh hingga masuk ke kamar. Dia beralih ke laptop, yang saat ini menampilkan data diri perempuan itu.
"Tarissa Acasha," ejanya. "Nama yang bagus."
🌇🌇🌇
Pukul 6 pagi Tarissa sudah bersiap untuk mengelilingi rumah. Rumah Dhea dan juga rumah tetangga sekitar. Saat di luar, dia bertemu Vian yang juga akan olahraga pagi.
Dia menyapanya dan terus berlari ringan. Tidak canggung meski identitas aslinya terbuka. Lagi pula, itu bukan sesuatu yang harus ditutupi. Terlebih, dia tinggal di rumahnya. Jika itu menjadi orang lain, dia pasti sudah diusir karena dikira ingin berbuat jahat pada keluarganya.
Setelah mengelilingi rumah sebanyak 3 kali, dia berjalan pelan menuju bangku taman. Tempat itu tidak jauh dari rumah Dhea. Tidak luas, hanya untuk tempat bermain anak-anak saat suntuk.
Dia duduk di bangku taman, meluruskan kakinya di atas bangku panjang, lalu mengibaskan jilbab belakangnya agar angin bertiup ke tengkuknya. Ingin rasanya melepas kain hitam itu. Tapi dia baru saja mulai memakainya.
Saat dia sibuk mengipasi diri dengan telapak tangan, seseorang datang dari sisi kanan. Dia melihatnya, tapi karena itu Vian, dia mengabaikannya.
"Minum." Vian berkata sambil menyerahkan botol air.
Tarissa mengambil botol air itu, lalu mengucapkan terima kasih. Kemudian langsung meneguk air hingga seperempat. "Gimana?" tanyanya.
"Kayak yang lo pikirin. Barangnya udah gue kirim ke pusat. Dan bakal diselidikin siapa aja yang terlibat," ujar Vian, mengerti apa yang dia maksud. "Tapi, lo harus jadi saksi di kantor nanti. Gak akan lama, kok."
"Oke." Tarissa menurunkan kakinya, bergeser ke sudut bangku. "Duduk. Jangan kayak pengawal berdiri terus," tuturnya.
Vian terkekeh, lalu duduk di sampingnya. "Lo gak papa kalo temen lo ditangkap polisi?"
"Dia cuma temen jalan saya. Kebetulan ganteng, jadi saya terima. Gak lebih," ujar Tarissa tanpa beban. Seolah yang ia katakan tidak berarti apa-apa. Hal itu membuat Vian tertawa keras. "Apa yang lucu?"
Lelaki itu menggeleng pelan, masih ada tawa di sudut bibirnya. "Cuma karena ganteng jadi lo mau diajak jalan sama dia?"
"Gak juga sih. Kebetulan dia bayarin saya makan. Jadi ayuk aja. Trus juga, jalan yang dia tuju sesuai sama yang saya mau." Tarissa tersenyum tipis, matanya berkedip pelan.
Vian menatapnya dari samping, memperhatikan setiap sudut wajah perempuan itu. Teman adiknya ini membuatnya tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. "Kenapa gak ngajak gue aja? Gue lebih tau kota ini. Dan juga, kalo sama gue dijamin bakal aman," katanya sombong.
Tarissa melirik lelaki itu sekilas, lalu tanpa aba-aba memukulnya. Saat kepalan tangannya hampir mengenai wajah Vian, lelaki itu refleks menahannya dan menyerang balik. Namun refleks perempuan itu juga sangat baik.
"Kecepatan kamu bagus. Pantes masih muda udah jadi KOMJEN," pujinya.
"Lo tau dari mana?" Vian tersadar dari lamunannya dan bertanya.
"Eh, kamu gak tau kalau adik kamu suka gibahin abangnya?" tanya Tarissa balik. Dia terkekeh geli, lalu bangkit. "Makasih air minumnya. Saya lanjut lari lagi," ujarnya.
Vian kembali linglung. Dia menyentuh pipi yang hampir terkena pukulan dari gadis cantik tadi. Jika refleksnya buruk, sudah pasti pipinya akan berbekas. Sebab, saat menahan serangan tadi dia merasa tekanan kuat.
"Gue lupa," ucapnya, "temennya Dhea gak ada yang normal."
🌇🌇🌇
Yeah, sedikit. Lama-lama jadi gunung. Jangan lupa vote, komen, dan follow. Biar mirip di yt-yt. Oh, juga tolong disebar ke tetangga, teman sekolah, teman kampus, teman tapi mesra, dan lainnya. Makin banyak yang baca, makin besar kemungkinan dilirik penerbit. Hm. Bercanda. Tapi serius.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.