Bos Ganteng

522 26 5
                                        

Saat suara ayam jantan berkokok di samping rumah, Tarissa sudah siap dengan sarapan paginya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat suara ayam jantan berkokok di samping rumah, Tarissa sudah siap dengan sarapan paginya. Sepiring nasi goreng dengan cabai dipotong tipis-tipis juga bawang merah, lalu ditambah telur mata sapi di atasnya. Minumnya segelas air putih hangat. Dia tidak terlalu suka minum teh, dan semalam lupa membeli bubuk kopi.

Kucing putih miliknya juga tampak sedang makan di bawah meja ujung. Ekornya bergerak ke kiri dan kanan dengan riang. Terlihat sekali hewan berbulu itu menikmati makanannya.

Selesai makan, dia menumpuk piring di tempat piring kotor lainnya. Kemudian pergi ke kamar untuk memakai jilbab. Baju hitam biru dipadukan dengan jilbab segiempat berwarna hitam. Mirip arang, pikirnya. Namun itu tidak penting. Yang penting itu gajinya.

Dia meraih tas selempang berwarna cokelat yang berisi ponsel dan dompet, serta peralatan wanita kebanyakan. Setelah itu keluar rumah dan mengunci pintu.

Di depan pagar, dia berpapasan dengan tetangganya. Seorang janda anak dua yang berumur 48 tahun. Wanita itu ditinggal suaminya menikah lagi, membuatnya harus mengurus kedua anaknya sendiri. Hm, itu membuat Tarissa semakin ngeri untuk menikah.

"Handak kerja, kah? Tadi ibuk handak maminjam baras," ucap wanita itu. Namanya Rosdiana. Dipanggil buk Iros. (Mau kerja, ya? Tadi ibuk mau minjam beras.)

"Hehe iya, Buk. Ini baru mau berangkat." Tarissa membuka tas selempangnya, lalu mengambil selembar uang kertas berwarna merah. "Ibuk belinya di warung depan aja, ya. Aku belum belanja semalam. Lupa," katanya sambil menyerahkan uang tadi.

"Makasih, ya. Ikam baik banar. Ibuk janji kainak ibuk gantik," ucap buk Iros dengan mata berembun.

Tarissa tertawa kecil. "Aku bukan baik, tapi ada duit. Kalo gak ada duit, percuma aja baik," ujarnya. "Aku pergi dulu, ya. Anak ibuk kalo masih bandel bilang aja ke aku. Biar aku jadiin perkedel." Dia berkata dengan sungguh-sungguh.

Buk Iros ikut tertawa. Lebih tepatnya tawa miris. Kedua anaknya punya perangai yang kurang baik. Mereka selalu iri dengan kehidupan temannya yang lain dan akan menuntut ibunya ini dan itu. Tapi, setelah diasuh---dibaca dipukul---oleh Tarissa, mereka langsung menurut dan tidak banyak tingkah.

"Hati-hati di jalan."

Tarissa mengangguk singkat, lalu berjalan ke depan gang, menunggu angkutan umum yang akan membawanya ke tempat kerja. Dia tidak punya motor yang bisa digunakan. Alasannya karena dia tidak bisa naik motor, hm.

Beberapa menit menunggu akhirnya angkutan yang biasa ia naiki datang. Hanya butuh waktu sekitar 20 menit untuk sampai ke tempat kerjanya.

Setelah membayar ongkos, dia berjalan masuk ke halaman pabrik. Satpam yang berjaga di depan tersenyum lebar menyambutnya. "Pagi, Eneng," sapanya.

"Pagi juga, Bang." Dia balas tersenyum dan terus berjalan tanpa peduli tatapan sekitar. Mungkin dia dua dari sepuluh orang pegawai yang naik angkutan umum ke pabrik. Selebihnya mereka punya motor sendiri karena gaji yang didapat cukup untuk menyicil motor matic.

Mantan NyusahinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang