Kamar Bian, 20.00
Setelah selesai makan malam, Bian kembali ke kamar dan Nara menidurkan Kaila di kamarnya seperti biasa. Bian merebahkan tubuhnya di kasur, memainkan ponselnya. Besok adalah hari terakhir dia cuti karena lusa sudah harus bekerja seperti biasanya.
Beberapa laporan dari Darel sudah dia terima. Syukurlah, tidak ada masalah yang berarti di perusahannya. Dua minggu lalu saat Bian mempersiapkan pernikahan juga berjalan dengan semestinya.
Sekitar lima belas menit kemudian, Nara masuk ke kamar dan melihat Bian yang tengah bermain ponselnya itu. "Mas, kotak yang dikasih Ibu mana?"
Bian menunjuk meja rias. "Oh, iya, saya sampai lupa. Itu di meja rias. Sini." Nara pun berjalan menuju ke meja rias untuk mengambil kotak itu. Dia kemudian menuju kasur dan bersandar di sebelah Bian.
Dibukalah kotak itu. Terdapat dua tiket penerbangan. Jakarta-Bali. Lengkap dengan beberapa dokumen entah apa. Seperti bukti reservasi hotel dan lain sebagainya. Bian dan Nara sama-sama mengerutkan keningnya dan saling pandang. Bian mengambil tiket itu, sedangkan Nara mengambil sebuah lipatan kertas yang berada di bawahnya. Seperti sebuah surat.
Untuk kalian berdua,
Anak Mama,
Anak Ayah dan Ibu,
Tersayang.
Maaf, kami hanya bisa memberi ini, ya. Semoga kalian suka. Semua baju dan barang yang dibutuhkan sudah Mama siapkan menjadi dua koper di lemari. Empat hari di Bali semoga kalian bisa memanfaatkan waktu dengan baik untuk saling mengenal.
Have fun dan jangan lupa, pulang harus bawa cucu buat kami.
Nara membaca surat itu dan merinding. Terlebih membaca satu kalimat terakhir. Suasana mendadak canggung dan dingin. Nara memandang Bian yang ternyata juga dia sedang membaca. Bian menghela napasnya dan meletakkan kotak itu di kasur.
"Ada-ada aja." Kata Bian sambil memijat keningnya. Beberapa kali dia juga menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal agar rasa canggungnya tidak terlihat di depan Nara.
"Kapan, sih, Mas?" Tanya Nara sambil melihat kartu reservasi hotel.
Bian mengambilnya. "Rabu sampai Sabtu. Minggu sampai Jakarta lagi."
Nara hanya ber-oh ria dan mengangguk. "Kamu kerja, kan?"
"Iya."
"Tapi apa kita tega nolak pemberian mereka?" Kata Nara.
Sejujurnya Nara juga belum siap jika dihadapkan dengan hal semacam ini. Terlebih permintaan Mama, Ayah, dan Ibunya. Cucu. Tolong digarisbawahi. Memberikan nafkah secara batin saja Nara belum siap. Bagaimana bisa itu ada?
Namun, di lain sisi, Nara juga berpikir sejenak. Memang, dia dan suaminya ini butuh waktu intim berdua. Untuk saling mengenal, untuk saling mengetahui satu sama lain. Perkenalannya dengan Bian terhitung hanya sekejap. Walaupun sudah tiga tahun, namun itu hanya sebagai rekan kerja.
Bian mengemasi beberapa kertas itu ke dalam kotak kembali. "Emang kamu mau?"
Nara tersentak. Dia sedang melamun dan membayangkan apa yang akan terjadi ketika dia mengiyakan, malah mendapat pertanyaan semacam itu. "Ya, ngga tahu. Tapi, kalo nolak juga pasti mereka bakal kecewa sama kita, Mas."
Bian menghela napas lagi. Perkataan Nara memang ada benarnya juga. Sebenarnya, yang memberatkan langkahnya saat ini adalah harus meninggalkan perusahannya lagi. Memang semuanya aman, tidak ada yang bermasalah, namun tetap saja. Diberikan tanggung jawab besar sebagai pewaris perusahaan yang sekaligus menjabat CEO bukan hal yang menjadikan Bian semudah itu lepas dari tugasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...