PREVENTION - 24

10.6K 835 34
                                    


Naresh berdiri di balkon kamar apartemennya sembari memandangi langit malam yang berhiaskan butiran bintang yang berkilauan bak permata dengan sorot menerawang jauh. Pikirannya kembali melayang ke kejadian 3 bulan yang lalu dimana dirinya bersama Harya dan Reksa menemani Jerome untuk menunggui Khansa yang sedang dalam proses melahirkan. Dan selama hampir 11 tahun bersahabat, itu adalah pertama kalinya Naresh melihat Jerome ketakutan seperti itu. Bahkan saking takutnya, Jerome pun sampai tak kuasa menahan air matanya.

Ya, sahabatnya yang terkenal sangat tenang dan baik hati itu menangis sembari terus memanjatkan doa pada yang maha kuasa agar Khansa dan anak mereka bisa selamat karena saat itu kehamilan Khansa benar-benar kacau. Sejak kandungannya menginjak usia 7 bulan, Khansa sering kali mengalami pendarahan yang dipicu oleh rasa stress nya menghadapi ibu mertua dan keluarga Jerome. Beruntung bayi yang dikandungnya masih tetap bertahan hidup hingga akhirnya lahir dengan selamat dan sempurna. Tak ada satupun cacat yang dialami oleh anak mereka dan itu membuat semua orang yang saat itu menemani Khansa menghela nafas lega.

Dan Naresh masih ingat betul bagaimana Jerome keluar dari ruang bersalin dengan air mata yang bercucuran lalu kemudian bersujud syukur karena anaknya berhasil lahir dengan keadaan yang sehat dan sempurna. Di detik itu juga, Naresh langsung merasakan perasaan asing yang perlahan melingkupi hatinya.

Perasaan itu adalah wujud dari rasa takutnya yang selama ini tidak pernah sekalipun muncul ke permukaan. Rasa takut dimana dalam waktu 2 bulan lagi, dia akan berada di posisi Jerome, menemani dan menunggui Winna yang kini usia kandungannya sudah menginjak 7 bulan. Waktu memang begitu cepat bergulir, Naresh saja masih tidak menyangka bahwa waktu kelahiran putranya sudah semakin dekat. Dan hal itu semakin memicu rasa takut Naresh akan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan menimpa istri dan calon anaknya itu.

"Resh?"

Mendengar suara lembut Winna, Naresh langsung menoleh. Winna berdiri di dekat pintu balkon dengan gaun tidur berbahan satin yang membungkus tubuh mungil serta perutnya yang sudah membesar. Selama beberapa detik Naresh hanya bisa diam sembari memandangi wajah Winna yang terlihat begitu cantik dibawah sinar bulan yang bersinar cerah malam ini.

Well, Winna selalu cantik. Tak ada sedikitpun cela pada wajah cantik yang telah berhasil menjungkirbalikkan dunianya itu. Tapi dengan perutnya yang semakin membesar serta berat badannya yang sedikit bertambah, Winna tampak begitu memukau.

"Kamu ngapain berdiri di balkon kayak gini? Anginnya nggak bagus buat badan kamu." kata Winna.

"Tadinya mau ngerokok sebentar, eh tapi tiba-tiba jadi nggak mood." Naresh tersenyum lalu kemudian dia merangkul pinggang Winna dan membawa sang istri masuk ke dalam kamar.

"Kenapa? kamu lagi mikirin apa?"

"Mikirin kamu."

"Dih ngapain mikirin aku? perasaan aku nggak kemana-mana deh."

Naresh tersenyum tipis lalu kemudian membaringkan Winna di tempat tidur dengan hati-hati. Jam masih menunjukkan pukul 8 malam, tapi karena perutnya yang sudah semakin membesar serta kehamilannya yang sudah menginjak masa-masa menjelang melahirkan, Naresh memaksa Winna agar selalu tidur lebih awal setidaknya sampai bayi mereka lahir. Winna sebenarnya sudah berkali-kali meyakinkan Naresh bahwa dia baik-baik saja, tapi suaminya itu terus saja memperlakukannya seperti balita yang baru belajar berjalan.

Seperti biasa, sebelum tidur Naresh pasti selalu mengajak bayi mereka bicara. Di masa kehamilannya yang sudah menginjak 7 bulan ini, si bayi sudah mulai menunjukkan keaktifannya. Sesekali dia menendang perut Winna saat sedang diajak bercanda oleh Naresh, kadang Winna juga bisa merasakan pergerakkan bayinya itu yang sedang berputar setiap malam. Kalau kata Hemma, hal itu sangat wajar karena si bayi sudah mulai mencari-cari jalan untuk kelahirannya.

PREVENTION ( ✔ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang