4. Tentang Hujan

159 10 0
                                    

Laiba masih biasa saja ketika melaksanakan salat di gubuk tak seberapa luas itu. Beralaskan karung yang digelar dan mukena satu-satunya yang tersedia, dia mencoba tetap khusyuk ketika gelegar suara petir terdengar.

Setelah selesai, Laiba melihat keluar. Shafa masih berada di bawah pancuran mengambil wudu.

“Mbak Shafa, mau turun hujan!”

Shafa mengangguk. Lekas mendekat ke arah gadis yang masih memakai mukena. 

Arashya membawa cangkulnya ketika awan sudah benar-benar terlihat gelap. Melewati sungai bebatuan dengan terburu-buru. Batu-batu itu dilewatinya dengan mudah. Dia menuju ke gubuk tempat di mana Laiba duduk membelakangi.

“Apa para petani sudah kembali?” Arashya menyodorkan kulit jagung yang kering ke Laiba. “Bakarlah!”

“Monggo, Kang Rashya saja.”

Arashya jongkok, mulai menata kulit jagung yang biasa disebut klobot oleh orang Jawa. Mengeluarkan korek dari celana, Arashya mulai menghidupkan api.

“Mau bakar jagung?” tawarnya.

“Oh, iya. Pak Ustaz belum kembali ke sawah, ya?” Lelaki itu mengedarkan pandang. Ustaznya terbiasa pulang ketika Zuhur. Berbeda dengannya yang memilih untuk salat di sawah.

Laiba menaruh jari telunjuk di depan mulut. “Diam, Kang. Mbak Shafa sedang salat.”

Arashya mangut-mangut. Jagung yang baru saja ia kupas kulitnya dibakar. Menyerahkannya ke Laiba. “Peganglah! Saya mau ngerokok.”

“Enggak boleh di sini. Ih, Kang. Saya sesak kalau ada asap rokok.”

“Um ... baiklah, tidak usah saja.” Arashya kembali memasukkan bungkus rokok ke dalam saku. Beberapa saat, Shafa ikut duduk di antara keduanya.

“Kemarin gimana kesannya? Untuk kalian bukan yang pertama kali, kan?”

“Betul, itu yang ke sekian kali bagi saya dan Mbak Laiba. Kemarin tidak lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, Mbak. Selain karena datangnya kesiangan, juga enggak ada kejadian-kejadian yang bisa dikenang.”

“Contohnya?” Shafa sudah menyangka yang dimaksudnya adalah seperti yang dilakukannya kemarin dengan Arashya. Seorang gadis yang memberikan minum untuk lelakinya tanpa diminta. Tetapi, apakah menurut Arashya bukan itu?

“Misalkan naik motor karena perempuannya mabuk kendaraan? Itu menyenangkan, apalagi saat hujan.”

Laiba menunduk. Itu kisahnya dengan Arashya dulu, kan?

***

“Kalau sudah sampai jam tiga belum reda juga hujannya. Kita terpaksa terobos saja, kasihan Ibu jika tidak ada yang bantu masak. Pasti kerepotan karena harus ngurus adik.”

Laiba dan Arashya mengangguk setuju. Tumben sekali, baru bulan Agustus sudah hujan deras. Jika begitu, biasanya musim ketiga gagal. Tidak akan ada kemarau, karena hujan sudah datang duluan.

“Ayo, terobos saja!” seru Shafa. Gadis itu sudah menyingkap rok hingga mata kaki. Siap menyeberangi sungai yang airnya tengah meluap.

“Bahaya, Mbak. Kang Rashya, bantuin, dong!” perintah Laiba tidak bisa membuat Arashya membantah. Lelaki itu gegas mencari akal agar kedua gadis itu bisa melewati sungai yang meluap.

Arashya menggeleng ketika yang terlintas dalam otaknya hanya dengan cara membuat perahu dari pohon pisang. Rasanya akan semakin bahaya.

“Coba berpegangan, saya bantu menyeberangkan Mbak Shafa.”

LAIBA ARASHYA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang