14. Perasaan Bersalah

118 11 0
                                    

Panik! Arashya segera membopong tubuh ramping Shafa. Meletakkan di ranjang  dengan memperhatikan posisi ternyaman.

“Dik ....” Berulang kali ia memanggil. Melepaskan mukena yang dipakai sang istri. Menyentuh tangan Shafa yang terasa dingin dan mengecupnya lama.

Arashya menarik selimut menutupi tubuh Shafa. Hanya itu yang ia tahu ketika memberikan pertolongan terhadap orang pingsan. Arashya bukanlah lelaki berpendidikan tinggi. Sembilan tahun menamatkan pendidikan formal hingga jenjang SMP, kemudian sebelas tahun di pesantren.

Berbeda dengan pandangan orang kota, di desa Arashya merupakan orang dengan pendidikan tinggi. Ilmu agamanya mumpuni, semua orang segan terhadap orang-orang pintar yang dipercaya akan memajukan desa.

“Sayang ... bangunlah!”

Shafa tidak jadi membuka mata. Mendengar panggilan baru dari Arashya membuatnya kembali merasakan sakit. Apakah lelaki itu tulus?

Beberapa menit Arashya diam. Shafa menyipitkan mata melihat suaminya tengah memainkan ponsel.

Sinkop Vasovagal atau Vasovagal Syncope merupakan kondisi paling umum yang memberi dampak pingsan. Hal itu terjadi ketika tubuh bereaksi berlebihan saat berhadapan dengan pemicu pingsan, seperti adanya gangguan emosi yang ekstrem.

Perempuan cenderung mudah terkena syok emosional atau ‘emotional shock’. Rasa takut dan kondisi penuh tekanan memicu respons syok pada sistem kardiovaskular dan akan menyebabkan pingsan.

Arashya membaca sebuah artikel tentang penyebab yang membuat perempuan pingsan sembari menunggu sang istri sadar.

Tok! Tok! Tok!

Arashya berjalan mendekati pintu. Setelah dibuka, terlihat ibu mertuanya mengulas senyum. “Kalian belum makan malam,” peringatnya.

“Shafa sedang apa?”

Arashya menghalangi pandangan Afidah dengan berada tepat di tengah-tengah.

“Dik Shafa ketiduran, Bu. Biar saya saja yang ambilkan dan membawanya ke kamar.”

Afidah mengangguk, lekas menuntun langkah mantunya ke dapur dan membantu menyiapkan makan.

Saat Arashya kembali ke kamar, ia melihat sang istri sudah dengan posisi memunggungi.

“Makan, ya ... Mas juga buatkan teh hangat untukmu.”

Lelaki yang masih memakai peci tersebut membantu sang istri duduk bersandar pada kepala ranjang. Shafa dengan muka pucatnya memandang Arashya tanpa senyum. Namun, lelaki itu justru bersyukur karena Shafa manut mengikuti perintahnya.

Pada suapan terakhir, Shafa membuang muka ketika tangan Arashya terangkat mengelus rambut panjangnya.

“Shafa minta Mas pertimbangkan lagi. Mencintai orang baru akan susah.”

“Tapi Mas suka dicintai, Mas juga yakin jika rasa cintamu yang dengan perlahan membuat Mas ikut jatuh cinta.”

“Jika boleh, sebetulnya Mas tidak ingin istri Mas tahu siapa orang yang pernah hadir dalam masa lalu.” Arashya ikut bersandar di samping Shafa. Kepalanya mendongak menatap langit kamar yang dicat putih.

“Kenapa?” Shafa menoleh. Memperhatikan Arashya yang bergeming cukup lama.

“Karena hal itu yang membuat kita bertengkar.”

“Shafa juga tidak ingin tahu. Tapi karena Mas menyebutnya dalam tidur, Shafa jadi berpikir bahwa dia sangat penting. Apalagi kalimat selanjutnya yang mengatakan bahwa kalian dekat dan Mas susah lupa. Mas tahu, hati Shafa sakit mendengarnya.” Bulir bening kembali luruh.

“Dan ... jika boleh, Shafa tidak ingin mendengarnya.”

Arashya membawa raga ringkih itu ke dalam dekapannya. Seolah mentransfer kekuatan juga kehangatan yang dimilikinya. Meski belum mencintai Shafa, ia lemah berhadapan dengan wanita yang menangis di depannya.

Tapi ... bagaimana dengan Laiba yang mungkin menangis karenanya?

***

“Hidupku sekarang sepi banget.”

Laiba memutar isi kepala. Dulu, saat Arashya belum menikah, lelaki itu membuat hidupnya berwarna. Sikap jailnya, tingkahnya, dan semuanya. Namun, kini tidak lagi. Lelaki itu telah dimiliki dan ia tidak pantas memikirkan lelaki beristri.

Pada akhirnya, Laiba memutuskan memainkan ponsel. Mulai kembali aktif menekuri benda persegi tersebut. Beberapa komentar telah memenuhi postingan yang diunggah beberapa jam terakhir. Laiba tidak menuliskan apa pun, hanya terdapat potret diri yang menggunakan hijab pashmina marun dengan gamis hitam.

Mungkin bagi yang melihatnya, mereka akan menduga jika Laiba terus menggunakan gamis yang sama. Tetapi, itu semua salah. Laiba mengoleksi banyak gamis berwarna hitam. Usai ayahnya meninggal, ia merasakan hidupnya suram. Warna hitam menjadi favoritnya beberapa tahun belakangan.

Tinggal bersama dengan ibu sebagai orang tua tunggal, gadis itu sedikit-banyak jadi tahu, bahwa hidup memang membutuhkan pengorbanan. Mungkin termasuk dirinya yang mengikhlaskan Arashya untuk Shafa.

Ting!

Dengan malas, matanya melirik notifikasi yang baru saja muncul. Pesan-pesan di aplikasi Facebook terus membuatnya mendengkus. Berisi lelaki yang basa-basi mengajaknya kenalan. Menurutnya, cara pendekatan mereka terlalu membosankan. Bertanya sedang apa? Sudah makan belum? Laiba berpikir, memang jika ia menjawab belum, mereka mau mengiriminya makanan!

***

“Mbak, assalamu’alaikum.”

Tak lama, pintu terbuka menampakkan sosok Laiba dengan pakaian tidurnya. Wajahnya yang alami tanpa polesan make-up membuatnya terlihat imut.

“Pagi sekali, Mbak.”

“Di luar dingin, ya.”

Laiba tersentak. Dengan senyum kikuk ia segera bergeser mempersilakan Shafa masuk. Keduanya duduk di ruang televisi dengan beralaskan karpet.

“Maaf.” Satu kata yang lolos dari bibir Shafa terlalu ambigu. Laiba tidak bisa menangkapnya.

“Aku benar-benar tidak tahu jika sebelumnya kamu dan Mas Rashya pernah saling mempunyai rasa. Aku salah karena memaksanya menerima pinangan dan menikahiku. Jika dulu kamu berkata jujur, belum tentu semua ini terjadi.”

Laiba menunduk ketika Shafa menatapnya dalam. Mata yang membengkak itu penuh luka dan ia tahu sebabnya.

“Kamu tidak perlu berbohong dan tidak usah bertanya mengapa aku mengetahui semuanya.”

“Mbak ... tak perlu merasa bersalah. Saya dan Kang Rashya tidak lebih dari sekadar teman masa kecil.”

“Kamu mengira aku sebodoh itu? berpikir jika aku percaya bahwa hubungan pertemanan antara perempuan dan lelaki tidak menimbulkan perasaan? Mbak, mengapa kamu sebaik itu? Kamu merelakan lelaki yang dicinta untuk hidup bersama dengan wanita lain?”

Shafa terus menitikkan air mata. Menyekanya berulang namun tetap tidak bisa menghentikan bulir bening yang terus berjatuhan membasahi pipi. Hatinya sakit mengetahui sejahat itu ia merebut Arashya dari gadis sebaik Laiba?

“Aku bisa bercerai dengan Mas Rashya.”

Laiba menggeleng kuat. “Tidak, Mbak! Untuk apa melakukan itu!”

“Mas Rashya tidak mencintaiku—“

“Belum. Kang Rashya pasti sedang berusaha.”

“Kamu bisa hidup bersamanya bila—“

“Aku tidak ingin Kang Rashya!” Laiba berteriak. Sungguh! Mulutnya hebat sekali bisa berbicara lain dengan yang ada di hati.

***

Bersambung.

LAIBA ARASHYA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang