Tengah malam, Shafa terbangun ketika mendengar sebuah gumaman dari sisinya. Ia bangkit duduk, mengamati sang suami yang terus menggerakkan tubuh gelisah. Tangannya terangkat hendak menenangkan, namun kata yang keluar dari mulut Arashya membuatnya diam.
“Maaf, Mbak ....”
Shafa menunggu kalimat selanjutnya. Ia memilih menyandarkan tubuh pada kepala ranjang.
“Kita dekat sejak kecil. Tidak mudah bagiku melupakan secepat itu,” lirih Arashya masih dengan mata terpejam. Wanita dengan rambut tergerai itu menatap nanar punggung suaminya.
“Siapa yang kamu maksud, Mas?”
Arashya menggeliat dan mengerjapkan mata pelan. Merenggangkan tubuh sembari mengumpulkan nyawa, lelaki itu meraba tempat di mana sang istri tidur. Matanya terbuka dengan kilat ketika Shafa tidak ada di dekatnya.
Tatapannya mengarah ke pintu. Shafa tersenyum.
“Tumben enggak bangunin Mas, Dik.”
“Cepatlah wudu!”
Meski janggal dengan sikap sang istri yang terkesan cuek. Arashya manut melaksanakan perintahnya.
Kedua pasangan suami-istri yang sah beberapa hari lalu tersebut saling berdoa. Shafa meneteskan air mata. Merasakan hatinya telah dipermainkan ketika diikat dalam sebuah janji sakral tanpa perasaan. Ia menghargai keputusan Arashya yang jujur mengatakan mau berusaha mencintainya. Namun, siapa ‘mbak' yang dimaksud? Apa sepenting itu hingga disebut dalam tidurnya?
Arashya berbalik setelah selesai berdoa. Ia mengulurkan tangan agar dicium Shafa. Biasanya, wanita itu akan tersenyum lebar lekas meraihnya. Namun, kali ini berbeda. Shafa menunduk tanpa menatapnya.
“Mau semaan?”
Hari lalu, permintaan Shafa usai salat malam adalah disimak hafalan Al-Qurannya. Tak disangka kali ini wanita dengan mukena polos itu menggeleng dan bangkit dari tempat.
“Allah ... kenapa ini?”
***
“Mbak Laiba tahu siapa yang pernah dekat dengan Mas Rashya?”
Laiba melotot. Respons yang berlebihan itu membuat Shafa menatapnya lama.
“Hidupku sejak kecil berada di pesantren. Saat pulang, Mas Rashya pun berada di pesantren, kan?”
Laiba mengangguk. Ia tengah memasak untuk makan siang para petani yang bekerja. Akibat pertanyaan Shafa, ia jadi gagal fokus. Haruskah menjawab jujur? Lagi pula, mengapa Shafa bisa tahu?
“Em, Laiba kurang tahu, Mbak.”
Rasa penasaran sudah memuncak. Keingintahuannya besar tentang gadis yang sempat disebut dalam tidur lelap sang suami. Ingin bertanya pada Arashya langsung, Shafa takut kecewa bila lelaki itu justru mengatakan yang sebaliknya.
“Sudah, Mbak?” Afidah datang, menghilangkan kecanggungan yang ada. Shafa bangkit meraih Kafka, sedang Laiba menuangkan masakan ke dalam wadah. Gadis itu tersenyum kaku melewati Shafa.
Hatinya sakit karena berbohong. Membohongi Shafa dan membohongi perasaannya.
Laiba merasa berdosa ketika masih menyimpan cinta untuk lelaki yang sudah memiliki istri. Namun, melupakan tidak semudah membuat mi instan, bukan?
“Bu,” panggil Shafa setelah sebelumnya menurunkan Kafka ke tempat tidur.
“Kenapa?” Afidah lantas mencuci tangannya. Semula, wanita sepuh itu tengah mencuci piring.
“Apakah ... Ibu tahu siapa yang pernah dekat dengan Mas Rashya?”
Tanda-tanda penuaan terlihat jelas ketika Afidah berpikir keras. Matanya beberapa kali melirik kanan-kiri dengan alisnya yang sedikit turun menyentuh kelopak.
“Laiba?” lirihnya ragu.
Shafa terdiam. Ibunya tak mungkin berbohong. Bagaimana dengan gadis itu, mungkinkah?
Jam tiga lebih lima menit, Shafa dengan gusar menanti kepulangan sang suami di depan pintu. Jika dipikir, kedekatan Arashya dan Laiba memang masuk akal. Keduanya menjadi pengajar di TPQ, dan saat hujan di sawah? Mereka terlihat akrab. Belum lagi saat dulu mereka berkunjung ke TPQ lain. Pikirannya berputar ke kejadian beberapa bulan lalu.
“Aduh!” Shafa menoleh. Melihat Laiba di belakangnya berhenti berjalan. Gadis itu menunduk dan beberapa kali mengusap mata.
“Kenapa, Mbak?” Shafa tidak mengatakan apa pun. Pertanyaan itu terlontar dari mulut Arashya yang tiba-tiba datang.
“Apaan, sih. Ini hanya kelilipan.”
Shafa hanya berdiri menyaksikan interaksi keduanya. Gadis dengan hijab segi empat motif itu menjauhkan tangan.
“Waw!” seru Arashya melihat mata Laiba memerah. “Matamu seperti mata monster.”
Tawa lelaki yang menggunakan kemeja putih berderai hingga beberapa orang yang lalu lalang menatapnya.
“Dik!” Lamunan Shafa buyar. Gadis itu meraih tangan Arashya dan mengajaknya masuk.
“Mas, mandilah!”
Arashya meraih pinggang istrinya, mengendus aroma Shafa pelan. “Tetap seperti ini, jangan berubah.”
“Mas ....” Shafa menjauhkan tubuh hingga pelukan terurai. Ia berjalan ke kamar menyiapkan pakaian untuk Arashya. Setidaknya, selama tinggal bersama, perlakuan lelaki itu tidak buruk. Selalu menghargainya, selalu menunjukkan cintanya meski hatinya diisi orang lain.
Kesalahpahaman yang meresahkan hati harus segera dihilangkan dengan mendengarkan penjelasan langsung dari sang suami. Ia akan bersabar menanti hingga malam, saat Arashya sudah bebas dari jadwal mengajar.
***
Arashya duduk di ranjang, sedangkan Shafa berada di bawah mendekap kakinya. Masih dengan pakaian salat, keduanya bertatapan mesra. Tangan Arashya terangkat mengelus puncak kepala istrinya.
“Kenapa pagi tadi sikapnya berubah, hm?”
“Ada yang ingin Shafa katakan ke Mas.”
Arashya mengangguk. Shafa menghela napas kuat-kuat membuat Arashya mengatupkan bibir menahan tawa.
“Ish, kenapa ketawa. Ini serius, Mas!”
“Semalam, Shafa dengar Mas menyebut seseorang dalam tidur.”
Arashya lekas terdiam, tawanya tak lagi bersisa dan berganti dengan sebuah ekspresi ketakutan. “Mas sebut siapa?”
“Enggak jelas. Mas menyebutkan ‘mbak' saja. Kata Mas, kalian sudah dekat hingga Mas susah lupa. Shafa harap, Mas bisa menjawabnya dengan jujur. Jangan kecewakan Shafa. Mas pernah dengar, ketika wanita bertanya, sebenarnya ia sudah tahu jawabannya.”
Beberapa detik Arashya memilih diam. Ia bingung, menjawab jujur dan tidak tetap akan melukai Shafa, bukan?
“Mas menyebut Laiba?” tanya Shafa. Ragu-ragu Arashya mengangguk. Kepala Shafa jatuh di pangkuannya. Ia menangis pelan.
Yang ditakuti akhirnya terjadi. Sungguh! Meski tidak cinta, Arashya tidak ingin membuat Shafa terluka.
“Apa kalian saling mencintai? Tentu saja iya.” Shafa menjawabnya sendiri. Dengan lemas, wanita itu memukul-mukul paha sang suami.
Arashya pasrah, ikut menjatuhkan kepala di atas Shafa. “Hanya masa lalu, Dik.”
“Bukan, bukan tentang itu!” seru Shafa. Ia mengangkat kepala, menatap Arashya dengan netra berkaca.
“Mas memikirkan perasaan Mbak Laiba, enggak? Jika kalian saling cinta, kenapa harus dengan berat hati Mas menerima Shafa? Mas bisa dengan mudah menolak dan mengatakan yang sejujurnya! Mas tahu, Shafa menganggap Mbak Laiba seperti adik kandung sendiri. Mas bisa saja merusak hubungan kami!”
Shafa tergugu. Seolah tidak menyangka dengan semua kejadian yang sedang terjadi.
“Dik, dengarkan Mas dulu.” Arashya meraih tangan wanita yang sudah bergerak menjauh darinya.
“Mas sudah memutuskan semuanya secara matang. Mbak Laiba yang justru menolak ketika Mas datang kepadanya.”
“Semudah itu Mas percaya? Bagaimana jika ternyata Mbak Laiba masih cinta. Mas memikirkan gimana sakit hatinya ketika setiap pagi Shafa bercerita tentang Mas kepadanya? Bercerita bagaimana Shafa begitu bahagia menikah dengan lelaki yang Shafa cinta?”
Beberapa pertanyaan itu membuat Arashya menunduk. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Saat Laiba mengatakan tidak, maka ia berpikir semuanya telah selesai. Padahal seperti yang dialaminya, tidak mudah melupakan bagian dari masa lalu.
“Mas, pulanglah ke rumah,” lirih Shafa.
“Ini rumah Mas. Suami akan tinggal bersama istrinya. Begitu, bukan?”
“Kembalilah nanti. Semuanya sulit untuk dipercaya. Bisa tolong pahami Shafa? Atau bahkan jika Mas keberatan kembali. Mas boleh menalakku sekarang juga.”
Arashya menggeleng dengan bersimbah air mata. Ia mendekat dan memeluk Shafa erat. “Tidak akan kulepaskan apa yang telah kugenggam.”
Beberapa kali Shafa berontak agar pelukan terlepas. Namun, dengan kekuatannya pula Arashya mempertahankan. Detik terakhir istrinya tidak bergerak dan tubuhnya lemas.
“D-Dik ....”
***
Bersambung.

KAMU SEDANG MEMBACA
LAIBA ARASHYA (Selesai)
Любовные романы"Tidak semua yang pertama menjadi pasangan surga. Karena sebagian di antaranya, yang kedua menjadi terakhir." *** Menjadi orang dekat dalam hidup Mahreen Shafana Almahyra-putri ustaz yang penyakitan. Arashya terpaksa menikahinya setelah Laiba mengan...