7. Keputusan Akhir Arashya

142 9 0
                                    

Dari Abi Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Wanita itu dinikahi karena empat hal. Karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Namun, dari empat itu paling utama yang harus jadi perhatian adalah masalah agamanya. Maka perhatikanlah agamanya, kamu akan selamat.” (HR. Bukhari Muslim).

***

Arashya memijit pelipis. Istikharahnya belum menunjukkan hasil apa-apa. Ia berjalan menuju rumah Laiba dengan sebuah harapan yang besar. Jawaban dari gadis itu yang menentukan keputusan akhirnya.

Seperti biasa, Arashya duduk di bangku yang tersedia di depan rumah Laiba. Ketika gadis itu keluar, Arashya tetap duduk di sana.

“Ada apalagi, Kang?”

Melihat wajah lesu Arashya, membuat Laiba tidak tega untuk sekadar menunjukkan raut wajah kesal atau cueknya.

“Boleh minta pencerahan?” Laiba mengangguk.

“Istikharahku belum menemukan hasil. Hatiku sampai kini bahkan masih ragu, Mbak. Ini keputusan yang harus dipikirkan matang-matang karena menyangkut masa depan.”

“Tentang itu? Em ... kenapa mesti ragu, Kang? Semua orang bahkan bermimpi berada di posisimu. Menjadi menantu seorang ustaz, menikahi putrinya yang cantik dan salihah. Apalagi, Ustaz Akbar sendiri yang meminta. Di luar sana, banyak yang mungkin melamar dan belum tentu diterima.”

Arashya menatap lurus ke netra Laiba. Mencoba menyelami. Namun, dia tidak menemukan apa-apa.

“Benarkah rasa itu telah hilang?”

“Rasa apa? Saya tidak mempunyai rasa apa pun. Apa maksud Kang Rashya?”

“Waktu kecil dulu ....“

“Itu hanya sebuah permainan.”

Arashya tidak lagi bersuara. Jawaban singkat itu terasa menghunjam dada. Kisah yang masih dikenangnya hanya dianggap sebuah permainan oleh Laiba. Bagaimana mungkin?

“Saya tidak mencintai Mbak Shafa. Saya berharap, dengan datang ke sini, kamu akan menahan dan saya mempunyai alasan untuk menolak. Jika begitu, apa yang bisa kulakukan selain membuka hati? Untuk memaksamu pun, aku tak kuasa.”

“Assalamu’alaikum, Mbak,” pamit Arashya. Lelaki itu berjalan meninggalkan tanpa menoleh lagi. Untuk pertama kali, Arashya merasakan patah hati.

***

Ustaz Akbar tersenyum melihat kedatangan Arashya. Lelaki yang memakai kemeja biru itu terlihat tampan. Warna kulitnya yang putih bersih benar-benar terlihat kontras dengan warna pakaian yang gelap.

Rambut hitam lebat itu dibiarkan terlihat tanpa ditutup peci. Setelah mengucap salam dan dipersilakan masuk, Arashya berjalan menggunakan lutut menuju Ustaz Akbar yang tengah duduk di lantai beralaskan tikar lembut. Di hadapan lelaki sepuh itu, ada secangkir teh yang masih mengepulkan asap. Sangat pas menemani sore yang terasa sejuk setelah satu jam dilanda hujan.

“Bagaimana?” Ustaz Akbar semringah. Sesuai kesepakatan, ini hari ketiga dan Arashya akan memberikan jawaban.

Arashya menunduk, mencoba menguatkan hati dengan zikir. Untuk menolak, ia tak kuasa. Kerutan di sekitar mata gurunya itu terlihat karena tersenyum. Arashya tidak tega jika memudarkan senyum itu karena penolakan yang terucap.

“Bismillah, saya siap menikahi putrimu, Ustaz.”

Rasa bahagia tidak bisa dibendung oleh gadis yang sejak tadi menguping di balik pintu. Ingin menjerit, namun Shafa memilih membekap mulutnya agar tidak mengeluarkan suara.

LAIBA ARASHYA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang