17. Penyesalan

121 13 0
                                    

“Kamu tidak bisa memaksa seseorang untuk tetap tinggal. Pergi dan datang itu hak mereka. Dan kamu harus percaya, bahwa ketika ada yang pergi, maka saat itu juga ada yang datang menjadi pengganti.”

***

“Kenapa Allah tidak selalu menakdirkan yang datang pasti menetap? Kenapa harus ada perpisahan?” gumam Laiba. Gadis dengan hijab instan itu duduk di sebuah batu besar dan memandang lurus ke air sungai yang jernih.

Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. “Karena Allah ingin kamu ingat, bahwa yang hidup pasti mati. Itu tandanya ... melalui sebuah perpisahan Allah mengajarkan ikhlas dan sabar.”

“Tapi, ini bukan tentang kematian.” Laiba memandang Farikha yang sudah ikut duduk di sisinya.

“Kematian dan bukan, intinya sama. Yaitu perpisahan. Betul?”

“Aku merasakan keduanya. Ayah meninggal, lalu Kang Rashya ....”

Farikha tidak ingin mengungkit kesalahan Laiba yang membiarkan Arashya pergi. Gadis itu terlihat cukup mendung, membuatnya tak tega untuk menegur.

“Bagaimana dengan yang tiba-tiba datang?” tanya Laiba. Menatap lekat sahabatnya yang baru pulang dari perantauan.

Farikha menunduk memainkan jari-jari tangan. “Dia hadir sebagai pengganti?” Jawaban Farikha seolah balik bertanya. Gadis itu balas menatap Laiba.

“Seperti matahari dan bulan. Keduanya bergantian. Datang dan pergi  sesuai waktu yang telah Allah tentukan. Barangkali, setelah Kang Rashya pergi, Allah mengirim orang baru untuk mengobati lukamu. Makanya, kamu perlu menghargai keduanya.”

“Kenapa aku harus menghargai orang yang telah pergi? Dia membuatku merasakan sakit.” Laiba menghela napas. Tidak setuju dengan pendapat yang dikemukakan oleh Farikha Istina.

“Mereka yang pergi, tanpa sadar juga telah meninggalkan pelajaran. Bagaimana kamu bisa kuat tanpa dia, hingga akhirnya kamu lemah dan meminta kekuatan kepada Sang Pencipta. Jangan meragukan Allah dalam merancang alur kehidupan.”

***

Laiba tidak bersemangat sama sekali pagi itu, bermalas-malasan di ruang televisi. Meski benda tersebut menyala menampilkan sebuah siaran, Laiba justru memilih memandangi layar ponsel.

Kalut!

Satu kata yang menggambarkan. Hatinya telah sepenuhnya sadar jika perasaan bencinya telah berubah menjadi cinta. Laiba menyesal baru menyadari saat Arashya telah menikah dengan Shafa.

Abu Hurairah dalam sebuah hadis menyatakan, “Cintailah orang yang engkau cintai seperlunya, karena bisa saja suatu hari dia akan menjadi musuhmu, dan bencilah orang yang kamu benci seperlunya, karena bisa jadi suatu hari kelak dia akan menjadi orang yang engkau cintai.” (HR. At-Tirmizi).

Menurut Imam Al-Munawi dalam kitabnya Faidul Qadir Syarah Jami’ Al-Shagir bisa jadi perasaan tersebut dapat berubah seiring berjalannya waktu. Janganlah terlalu mencintai sesuatu, karena kamu akan menyesal jika suatu saat membencinya, begitu pun sebaliknya, janganlah terlalu membenci karena kamu akan malu jika suatu saat kamu mencintainya.

Laiba tertampar melihat tulisan itu. Belum lagi firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 216 yang artinya, “ ... boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Benar, saat itu Laiba merasa sangat tahu dengan hatinya sendiri. Ia sombong tidak mau berbaik hati memaafkan Arashya dan bermusyawarah dengan Tuhannya.

Kejadian sebelas tahun lalu yang masih dikenangnya itu mungkin tidak seberapa bagi orang lain.

Kejadian berlangsung saat Laiba memutuskan salat di shaf paling belakang yang tidak terdapat satir (kain penghalang). Bagi anak-anak seusianya dulu, melakukan ibadah di barisan belakang itu surga. Karena tak ayal, mereka bermain-main dengan dalih salat.

Arashya yang baru wudu tersenyum semringah melihat Laiba ada di sana. Beberapa saat, ia terdiam seperti tengah memikirkan sesuatu.

Saat ada anak kecil yang lewat di depannya, ia menarik dan membisiki sebuah perintah. Ragu-ragu bocah itu mengangguk dan bersiap melakukan aksi sesuai perintah Arashya.

Menunggu Laiba sujud, barulah ia menaiki tubuh kecil tersebut. Tak sampai di situ, Arashya ikut menarik sajadah yang menjadi alas ibadah Laiba hingga beberapa putaran. Hal itu cukup menyakiti hati, merasa dipermainkan sekaligus dilecehkan. Sontak, Laiba tak tahan lagi, ia memilih membatalkan salat, gegas berdiri hingga bocah yang menunggangi tubuhnya jatuh ke lantai. Tangisan anak itu tidak didengarnya. Ia pun menangis pulang ke rumah.

Paginya, Laiba bertemu dengan bocah kecil yang malamnya melakukan tindakan itu, ia meminta maaf dengan tulus. Sedangkan, lelaki yang dianggapnya teman tidak pernah lagi menunjukkan batang hidungnya. Tahu-tahu, hari berikutnya ia mendengar bahwa Arashya telah pergi ke pondok.

Hatinya mati rasa saat itu juga. Ia mengakuinya sendiri. Karena matanya sering berbohong, Laiba menangis ketika Arashya pergi tanpa pamit juga  permohonan maaf.

***

“Mas, Shafa mau ikut ke sawah, ya.”

Arashya menggeleng tak setuju. “Kamu baru sembuh, Dik. Istirahat saja yang cukup.”

Shafa menggeleng. Ia bantu memakaikan kaus yang biasa dipakai suaminya ke sawah. Hubungan keduanya sudah baik, Arashya selalu meyakinkan wanita tersebut agar menunggu sebentar lagi. Meski ia sendiri pun ragu. Benarkah Arashya bisa melupakan Laiba dan mencintai Shafa?

Terkadang, Arashya pun merasa bersalah. Terjebak dalam hati Laiba, sedangkan ia menikahi Shafa. Jika dulu sedikit saja ia memiliki keberanian menolak, dan berjuang mendapatkan kembali hati Laiba. Semuanya tidak akan serumit itu. Tetapi, barangkali ini yang menjadi jalan hidupnya.

Kalau kata orang Jawa. “Mangan brutu, kajog ketemu mburi.”

Memang benar, siapa yang tidak mengetahui bahwa penyesalan berada di akhir?

Arashya menyudahi pikirnya, mulai berjalan beriringan dengan sang istri menuju sawah orang tua mereka.

“Mas!” Shafa yang lebih dulu berada di depan membalikkan tubuh. Senyum-senyum menatap Arashya.

Lelaki itu mengernyit. “Apa?”

Tangan Shafa terulur menunjukkan simbol cinta ala Negeri Ginseng. Wajahnya yang masih sedikit pucat itu tersenyum hingga lesung di pipi kanannya tampak.

Arashya hanya menggeleng dan melanjutkan jalan. Kini, lelaki itu yang memimpin langkah.

***

LAIBA ARASHYA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang