12. Kebahagiaan Orang Lain yang Utama

122 11 0
                                    

“Lelah, Mas?” Tangan Shafa memegang pundak Arashya, memijitnya pelan.

“Mbak—“

“Adik. Mas bisa memanggilku Adik,” ujar Shafa menunduk malu.

“Mas mandi dulu.” Arashya beranjak ke kamar mandi yang berada di lantai bawah dekat dapur.

Hatinya bercabang memikirkan apa yang hendak dilakukannya dengan Shafa malam ini, juga memikirkan perasaan Laiba yang mungkin tersakiti.

Lelaki berkulit putih itu mengucap istigfar sepanjang perjalanan menuju kamar. Shafa istrinya, dan ia akan memperlakukannya sebaik yang ia bisa.

Melihat seorang gadis tengah bersolek di meja rias, Arashya mendekat. Memutar kursi hingga tubuh Shafa menghadapnya. Satu tangan ia letakkan di atas ubun-ubun gadis yang tersenyum lebar, dan satunya menengadah.

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ. وَأَعُوْذَ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ.

Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaaalaih. Wa a’udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltahaaalaih.

Artinya: "Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau tetapkan atas dirinya.”

“Pelan-pelan Mas belajar untuk mencintaimu,” ungkap Arashya jujur. Gadis di depannya tersenyum ketika tangannya diraih dan dikecup Arashya cukup lama.

Jam dua dini hari Arashya bangun. Harapannya tidak dilihat orang pupus ketika berpapasan dengan Fatih. Abang iparnya mengamati dari atas sampai bawah. Lelaki itu tersenyum menggoda dengan menaik-turunkan alis.

Berdeham beberapa kali, Fatih terus menatap Arashya tanpa kedip membuat lelaki dengan handuk yang melingkar di leher salah tingkah.

“Permisi, ya, Bang.”

Usai mandi, Arashya buru-buru masuk kamar sebelum banyak anggota keluarga yang bangun dan melihatnya keramas di pagi hari.

“Dik.”

Shafa menggeliat, tidak lekas bangkit membuat Arashya gemas dan menempelkan rambutnya yang basah ke wajah.

“Mas ....”

“Bangunlah! Yuk, salat tahajud.”

Shafa tersenyum lebar. Kini, paginya terasa berbeda.

“Aku tidak tahu sisa umurku, tapi yang penting aku bersamamu sepanjang umur,” batinnya.

***

“Mas. mau ikut ke sawah juga.” Shafa menggelayut manja. Arashya menggeleng pelan dan tersenyum canggung.

“Istirahat saja, pasti lelah, kan setelah kemarin—“

“Jangan dibahas! Pokoknya ikut, yaaa.”

Arashya mulai mengerti, sifat Shafa di depannya sangat manja. Tangannya terangkat mengelus puncak kepala dan mengangguk.

Berjalan melewati jalanan sawah yang sedikit-banyak terdapat tanjakan membuat Arashya mempersilakan sang istri agar mendahuluinya. Namun, Shafa kekeh menggeleng.

“Mas!” teriaknya tiba-tiba.

“Nah, kan! Dibilangin juga apa!”

“Bantu, dong!”

LAIBA ARASHYA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang