26. Ekstra Part

224 10 4
                                    

Tak lepas dari perhatian sang suami, ayah serta ibunda. Shafa mengelus perutnya yang buncit. Hari perkiraan lahirnya telah dekat. Entah mengapa, ia selalu merasa khawatir berlebihan. Seolah-olah, ia tidak akan diberikan kesempatan untuk melihat wajah bayinya. Nanti.

“Husnuzan, Sayang.”

Arashya memeluknya dari belakang. Ikut meletakkan tangan di atas perut besar tersebut. Sudah terhitung satu tahun mereka berumah tangga, konflik ringan selalu ada. Mulai dari mengidamnya Shafa yang tak keturutan karena terlalu aneh hingga wanita itu menangis, Arashya yang sering mengeluh lelah menuruti keinginan sang istri. Begitulah berjalannya hubungan.

“Setahun pernikahan, apa Mas belum mencintai Shafa?” Kepala wanita itu bersandar di dada bidang suaminya. Tatapannya lurus menatap dinding kamar yang dihuninya.

“Perasaan itu muncul karena kamu menggemaskan.”

Berat badan Shafa naik selama hamil. Wanita ayu itu jadi lebih menggemaskan dengan pipi yang tembam dan kaki yang membengkak. Meski begitu ....

“Kamu gendut, tapi tetap cantik.” Tanggapan Arashya ketika wanitanya mengeluhkan berat badan.

“Jika Shafa tidak diberikan kesempatan merawat anak kita, Mas bisa cari pengganti.”

“Bicara apa, sih. Mas sudah capek-capek belajar mencintai kamu, masak setelah jatuh cinta kamu mau buat Mas harus belajar buka hati lagi.”

“Ibaratnya, Mas telah membaca buku. Jika diulangi, maka Mas telah hafal isi di dalamnya. Begitu pula dengan perasaan, bisa saja karena Mas pernah mencintai Mbak Laiba, maka membuka hati kembali untuknya tidak akan sulit. Begitu, kan, Mas?”

“Sayang ....” Arashya merengek. Lelaki yang telah berusia 26 tahun tersebut menggeleng-gelengkan kepala. Ia takut mendengar ucapan istrinya. Ia tidak ingin kehilangan Shafa.

“Jangan buat Mas melakukan itu. Mas hanya ingin denganmu.”

“Jangan egois, Mas. Jika nanti Shafa enggak ada, itu artinya Mas harus carikan sosok ibu untuk anak kita.”

“Pembahasan macam apa ini. Dik, ayolah ... Mas mohon, jangan bicara yang tidak-tidak.”

“Mas tahu tidak, kenapa selama ini Shafa selalu memerintah Mas memasak, mencuci baju, bahkan mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.”

“Karena kamu sedang hamil, supaya anak kita di dalam enggak kelelahan. Mas senang melakukannya untukmu dan anak kita.”

“Bukan, itu adalah pembelajaran agar Mas bisa terbiasa tanpa Shafa. Tapi, segeralah cari pengganti agar rumah ini bukan Mas yang mengurusnya.”

Rumah minimalis yang berada tak jauh dari jalan menuju sawah itu ditinggali sejak Shafa hamil lima bulan. Melalui kerja keras Arashya dan tabungan Shafa, keduanya terlaksana membangun rumah.

Meski begitu, ucapan Shafa cukup membuat Arashya bingung. Saat salat, doa Shafa selalu sama, ia meminta agar suaminya mendapatkan wanita yang bisa menyayangi anaknya dengan tulus. Ia selalu membahas percakapan yang sama setiap harinya.

***

Jangan katakan kamu tidak bisa move on! Laiba mengutuk dirinya sendiri. Bahkan, melalui mata kepalanya ia dapat melihat jelas jika Arashya telah bahagia dengan Shafa. Apa yang diharapkannya dari lelaki yang telah beristri? Bahkan, akan segera memiliki anak.

Katanya, obat paling ampuh dari patah hati itu jatuh cinta lagi. Itu semua tidak berarti apa-apa bagi Laiba. Mana mungkin, ia akan jatuh cinta lagi jika nama Arashya menggenggam erat hatinya.

Alur seperti apa yang Allah rencanakan untuk gadis itu? Mengapa sulit sekali melupakan lelaki yang jelas-jelas telah beristri. Semuanya rumit! Laiba tidak ingin memikirkannya.

LAIBA ARASHYA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang