3. Kisah Manis Hanya Masa Lalu

168 11 0
                                    

"Bagaimana Kang Rashya menurutmu?"

"Selain jail, loh, ya." Shafa mengingatkan. Laiba mendengkus, apa penilaiannya terhadap Arashya selain jail? Tampan, iya. Tetapi Laiba gengsi jika mengungkapnya.

"Kenapa Mbak Shafa tiba-tiba bertanya tentang Kang Rashya?"

"Ah, lupakan! Itu tidak penting." Shafa mengubah duduknya dengan gugup. Rupanya, ada Arashya dengan senyum lebarnya di ambang pintu.

"Saya sudah memberitahu kepada seluruh santri terkait kunjungan kita ke TPQ lain yang sedang mengadakan event untuk para santri dan walinya. Terkait biaya untuk transportasi, paling lambat terkumpul tiga hari lagi." Arashya menjelaskan dengan tenang membuat Shafa menatapnya lama.

"Sudah didiskusikan ke siapa biaya itu dikumpulkan?"

"Ke Mbak Laiba. Dia paling jago tentang urusan uang." Laiba melotot. Sejak zaman sekolah dulu, ia selalu dipercaya untuk mengelola uang.

"Kang, pokoknya saya terima jadi. Kalau dalam waktu tiga hari uangnya belum terkumpul juga. Saya bakalan maksa sampean buat narik satu per satu ke rumah."

Arashya tersenyum simpul. Lelaki yang mengantongi kedua tangan itu menoleh memperhatikan gadis ayu tanpa riasan yang dibalut hijab pashmina. Wajahnya masih sama seperti dulu.

"Bagaimana dengan Mbak Shafa?" pancing Arashya. Laiba tersenyum getir. Pertanyaan lelaki itu menyerupai pertanyaan putri sang ustaz kepadanya.

"Siapa yang enggak tahu Mbak Shafa, beliau cantik, ramah, sopan, pintar-"

"Bagaimana jika aku menikahi Mbak Shafa?" Arashya menekan nada bicaranya.

"Eh, oh ... y-yaaa baguslah."

Laiba berjalan lebih cepat meninggalkan Arashya. Hatinya seolah tercubit. Benar dugaannya, Arashya adalah orang yang mudah melupakan. Janjinya dulu tidak ditepati. Lagi pula, itu adalah janji anak kecil dan Arashya pasti sudah lupa.

"Laiba, jangan berharap selain kepada Allah."

"Bagaimana mungkin saya melupakan janji itu?" gumam Arashya menatap punggung kecil Laiba.

***

Laiba mengernyit melihat Arashya menyodorkan pil ke arahnya. "Minumlah, saya tahu kamu enggak bisa melakukan perjalanan tanpa obat anti mabuk ini."

Laiba mengangguk. Ditenggaknya beriringan dengan air mineral yang dibawanya dari rumah. Gadis itu memejamkan mata ketika mobil pick-up yang dinaiki mulai berjalan.

Arashya menaiki motornya mengikuti pelan dari belakang sembari mengamati gadis yang berdiri di pojokan. Jika saja mereka belum sama-sama dewasa, mungkin dengan senang hati Arashya mengajak Laiba untuk duduk mengisi kekosongan di belakangnya.

Huek!

Arashya meminta pamannya memberhentikan motor. Ia berteriak kencang memanggil Laiba dan memintanya turun.

"Ikut naik motor bersamaku saja, biar mualnya enggak terlalu!"

Hujan deras membuat gadis itu kedinginan, wajahnya pucat dan Laiba turun dibantu oleh ibunya.

"Kamu duduk di depan." Arashya turun dari motor. Beralih duduk ke belakang tubuh pamannya.

"Laiba, kamu enggak apa-apa, kan? Kalau masih mual atau mau muntah. Bilang aja, nanti Paman berhenti, ya?"

Pamannya mengangguk. Benar saja, Laiba menarikan jemari di atas speedometer. Kode bahwasanya ia sudah tidak kuat menahan mual. Motor dihentikan di pinggiran. Gadis kecil itu turun dan langsung mengeluarkan isi perut. Arashya dengan telaten memijit tengkuk gadis kecil yang dipujanya.

"Aku enggak mau naik motor. Aku mau jalan kaki saja." Laiba merengek. Tidak peduli seberapa jauh sisa perjalanannya. Rasa mual yang terus mendera membuatnya enggan.

Pada akhirnya, mereka kembali menelusuri jalan untuk mencari kedai.

"Kamu aneh, ih, orang mabuk tapi masih doyan makan," ujar Arashya ketika melihat Laiba memakan bakso dengan begitu lahap.

Lagi-lagi, kisah manis dengan Laiba hanya terjalin saat mereka masih kecil. Dan Arashya suka sekali mengenangnya.

***

"Kita datangnya kesiangan. Pendaftaran untuk para santri yang harusnya diajukan mengikuti lomba sudah ditutup satu jam lalu," ungkap Arashya. Menatap tak enak ke arah santri yang sedang istirahat.

"Adik-adik, ternyata kita datangnya kesiangan. Enggak bisa daftar untuk ikut lomba." Dengan sangat hati-hati Laiba mengatakannya. Namun, karena sebagian sudah mempersiapkannya dengan matang. Gurat kekecewaan terlihat jelas.

"Enggak apa-apa, ya. Kalian masih bisa, kok main-main di sini. Sekalian refreshing karena sudah tekun mengaji. Jangan sedih, ya," sambung Arashya menenangkan.

Bocah-bocah kecil itu manut. Mulai menyebar membeli jajan ditemani orang tuanya.

"Maaf sekali lagi, ya, Bu."

"Iya, enggak apa-apa, Mbak Laiba. Lagi pula, kalau bukan karena acara ini, saya juga belum tentu jalan-jalan."

Setelah tinggal dirinya dan Arashya. Laiba memutuskan untuk berjalan ke arah masjid. Mengingat dirinya masih haid, gadis itu duduk tidak jauh dari area.

"Dari 'Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda padanya, "Ambilkan untukku khumroh (sajadah kecil) di masjid."

"Sesungguhnya aku sedang haid," jawab 'Aisyah. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya haidmu itu bukan karena sebabmu" (HR. Muslim no. 298).

Hal ini menunjukkan bahwa boleh saja bagi wanita haid untuk memasuki masjid jika: ada hajat dan tidak sampai mengotori masjid. Demikian dua syarat yang mesti dipenuhi bagi wanita haid yang ingin masuk masjid.

***

Laiba mengeluarkan ponsel. Memotret beberapa objek dan pemandangan-pemandangan di sekitar.

"Kang Rashya, minumlah!" Shafa menyodorkan minum. Laiba yang baru sadar jika keduanya berada tidak jauh darinya itu kembali berpura-pura sibuk bermain ponsel. Arashya sempat melirik. Demi menguji gadis itu, ia menerimanya dan berujar terima kasih.

"Minuman kalau dikasihnya dari orang manis rasanya beda, ya." Shafa merona. Gadis itu menunduk malu-malu dan lekas pergi dari hadapan Arashya.

Laiba memutar bola mata. "Dasar buaya," batinnya.

Tak sengaja matanya bertabrakan dengan netra cokelat Arashya. Ia berpaling dan gegas berdiri.

"Eva, saya ikut kamu!" Laiba mengejar bocah yang masih berdiri menatapnya.

"Ustazah mau ikut Eva beli es krim?"

***

Bersambung.

Terima kasih banyak bagi kalian yang sudah meluangkan waktu untuk membaca.

Salam Sayang
Author Amatir

LAIBA ARASHYA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang