Sahabat yang baik bisa dilihat dari caranya meluangkan waktu ketika kamu butuh. Saat semua orang menjauh, ia tidak akan ragu merengkuh.
***Pagi sekali, Laiba pergi untuk sekadar berjalan-jalan menikmati udara tanpa polusi. Kakinya dibiarkan tak beralas, melewati tanah-tanah basah yang membawanya menuju sawah. Kicauan burung menjadi temannya bersenandung.
Gadis yang menggumamkan selawat itu terus berdecak kagum menikmati pesona ciptaan Tuhan.
Pohon-pohon tinggi menjulang, tanaman-tanaman hijau yang ditetesi embun, bahkan bunga warna-warni yang dihinggapi kumbang.
“Di kota, bangunan-bangunan besar itu dibuat oleh manusia, sedangkan di desa, semua yang ada murni ciptaan-Nya,” ucap seseorang. Laiba menoleh mendapati Farikha—sahabat karib yang beberapa hari pergi berkunjung ke kota.
“Aku tahu kamu tengah patah hati.” Gadis yang memakai hijab pashmina itu duduk tanpa takut kotor di rerumputan.
“Alah, yang baru pulang dari kota, sok tahu banget.”
“Sekarang kamu sadar, kan? Kadang, yang dibenci justru yang membuat cinta mati. Aku tidak bisa bayangkan bagaimana hari-hari yang kamu lalui ke depannya.”
Laiba menunduk. Menyesali segala yang terjadi. Di mana saat itu, ia melihat wajah Arashya tak sudi, menanam erat kata benci dalam hati, dan sekarang, ia merasa dilukai.
“Aku tahu ....” Farikha menggantung kata melihat Laiba mulai banjir air mata. Ini yang dirindukannya, Laiba adalah gadis lemah yang selalu berusaha terlihat baik-baik saja.
“Menangislah!” Tangannya terlentang menggapai tubuh kecil Laiba.
Laiba sesenggukan dalam dekapnya. Farikha tahu betul perasaan cinta yang bertahun-tahun ditutupi oleh sahabatnya. Ia tahu kecewanya Laiba ketika sedari kecil tumbuh bersama dengan Arashya, kemudian dikecewakan dan ditinggal pergi ke pondok sebelas tahun lamanya.
Saat kembali, justru lelaki itu memilih Shafa.
“Bukan ... semua bukan salahnya,” ujar Laiba lemas. Agak mendingan, gadis itu mulai bercerita bagaimana ia bersikeras tidak mau mengakui perasaan ketika Arashya datang memintanya menahan.
“Benci. Satu kata itu, pada akhirnya mematahkan hati.”
“Aku tidak bisa mencegahnya. A-aku terlambat.”
***
“Mau pergi ke mana, Mbak?”
“Ke rumah Laiba, rasanya ada banyak hal yang ingin diceritakan. Nunggu nanti, udah enggak sabar.”
Wanita sepuh berusia 50-an tahun hanya tersenyum menanggapi keceriaan sang putri. Biasanya, Shafa hanya mengurung diri di kamar. Melihat para santri bantu-bantu di sawah. Shafa sering kali mengatakan bahwa hidupnya tidak berguna karena tidak bisa apa-apa.
Padahal, setiap makhluk yang Allah ciptakan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hanya manusianya yang tak pandai bersyukur.
“Mbak Laiba ...,” panggilnya pelan. Shafa tipe gadis yang tidak bisa bicara keras. Suaranya kecil dan lembut.
Tak lama menunggu, Laiba membuka pintu. “Mbak, “sapanya kikuk.
Bagaimana rasanya dihadapkan dengan wanita yang akan dinikahi oleh lelaki tercinta, namun di sisi lain, ia juga merupakan seorang putri ustaz? Laiba bertanya-tanya. Ingin benci, tapi tidak jadi. Shafa tidak bersalah dalam hal ini.
“Kamu mendapatkan jajan itu?” tanyanya dengan mata berbinar. Laiba mengangguk.
![](https://img.wattpad.com/cover/283389504-288-k426627.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
LAIBA ARASHYA (Selesai)
Любовные романы"Tidak semua yang pertama menjadi pasangan surga. Karena sebagian di antaranya, yang kedua menjadi terakhir." *** Menjadi orang dekat dalam hidup Mahreen Shafana Almahyra-putri ustaz yang penyakitan. Arashya terpaksa menikahinya setelah Laiba mengan...