24. Bocah Tanpa Dosa

153 12 0
                                    

Buru-buru seorang gadis berjalan  menghampiri rumah Ustaz Akbar. Laiba ingin meminta maaf kepada Shafa atas sikapnya yang mungkin menyakiti wanita itu.

“Jangan minta pisah lagi, sudah ada dedek bayi di sini. Lagi pula, apa Adik berpikir, mau menikah lebih dari sekali? Mas si tidak mau.”

Laiba memegang dadanya. Masih kuat? Ia menyaksikan Arashya yang tengah mengelus perut Shafa. Tadi, apa katanya? Dedek bayi. Ya, Laiba bisa mendengarnya dengan jelas.

Kakinya perlahan kembali mundur menjauh dari pintu yang belum ia masuki.

“Mbak.”

Terlambat! Shafa telah lebih dulu menyadari keberadaannya.

“Saya minta maaf.” Laiba menunduk.

“Untuk apa?”

“Maaf sudah—“

“Tak perlu dibahas lagi, Mbak. Masalahnya sudah selesai, kok.” Arashya menyambar dengan dingin. Lelaki itu bahkan tak menatap gadis yang belum selesai berbicara.

“Iya, lagi pula untuk apa minta maaf, yang dilakukan Mas Rashya itu benar karena sebagai manusia harus saling tolong-menolong,” lanjut Shafa. Sebenarnya ia ingin sekali berbagi tentang info kehamilannya kepada gadis yang telah dianggap sebagai adik sendiri. Namun, ia salah. Karena Laiba pasti akan terluka. Mereka mencintai lelaki yang sama. Beruntung, Shafa bisa menikah dengannya.

Terkadang, takdir Tuhan dalam mengatur percintaan itu rumit, ya? Laiba dan Arashya saling mencinta, namun seolah Allah tidak menggerakkan hati Laiba—dulu—sehingga ia keduluan oleh Shafa.

Dalam situasi seperti itu, pihak yang paling bimbang sepertinya Arashya. Dicintai oleh dua wanita sekaligus, ia balik mencintai satu gadis di antaranya, namun takdir membuatnya menikah dengan Shafa.

Hal itu tidak perlu dibuat rumit. Hanya harus saling buka hati saja. Arashya untuk istrinya, dan Laiba untuk calon suaminya.

***

Semenjak mendengar kehamilan Shafa, Arashya berlagak seolah suami yang mencintai istrinya. Lelaki itu sering menggantikan pekerjaan Shafa mencuci baju, menyapu, bahkan momong Kafka.

“Kafka suka sama dedek bayi?” tanya Arashya yang kala itu tengah memotong apel untuk istrinya. Bocah kecil itu ada di tengah-tengah. Membuat ketiganya tampak seperti keluarga bahagia.

“Iya, Kafka suka banget.”

“Mau perempuan apa laki-laki?” Pertanyaan itu membuat Shafa melotot. Belum tentu juga jika Kafka menjawab salah satu mereka bisa mengabulkan.

“Ya, kalau bisa dua-duanya kenapa enggak, Kang.”

Bocah kecil itu menunjukkan giginya yang putih bersih. Kedua tangannya yang kecil ia angkat tinggi-tinggi selesai makan es krim.

Arashya menuntunnya ke kamar mandi. Bantu mencuci tangannya.

Hati Shafa seketika menghangat. Tidak salah ia mencintai lelaki seperti Arashya, bukan? Tampan, dan yang pasti saleh. Lelaki itu juga perhatian dan pandai menyelesaikan masalah.

***

“Bagaimana, mau ngajar lagi?” tanya Ustaz Akbar.

“Tapi, Ustaz, bukankah sudah ada pengganti?”

“Mbak Zahro belum terbiasa, tentunya harus adaptasi dengan para santri. Itu susah, dia yang mengatakannya. Jika Mbak Laiba setuju, saya serahkan kembali kitab-kitab yang biasa digunakan untuk ngajar.”

Pada akhirnya, Laiba mengangguk setuju.

Sore hari, Laiba memberi kejutan. Ia mengetuk pintu terlebih dahulu. Bukan seperti kebiasaannya yang langsung masuk begitu saja.

LAIBA ARASHYA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang