10. Luka dan Lara Hati

121 11 0
                                    

"Kenapa bisa jatuh si, Mbak?" tanya Arashya sesekali melirik gadis yang mengendarai motor di belakangnya banjir air mata. Ia tidak tahu pasti apa yang menjadi sebabnya.

"Tadi kita bawa santai saja, terus Mbak Laiba enggak bisa seimbang dan akhirnya motornya keserempet. Tahu sendiri, kan jalannya pas-pasan."

"Lain kali hati-hati."

Shafa mengangguk. Lekas turun dari motor matic yang ditumpanginya. Ia mengamati sebentar.

"Ini bukan motormu, Mas?"

Arashya mengangguk singkat. Bagaimana mungkin ia membawa motornya sendiri untuk membonceng gadis non mahram. Saat Shafa memasuki rumah, Arashya menunggu gadis yang sejak tadi menangis.

"Mbak!" Tangannya melambai. Menyuruh Laiba agar mendekati tempatnya. Namun, gadis itu acuh tak acuh melajukan motor ke arah berlawanan. Pulang ke rumahnya sendiri.

"Tadi, Mbak Laiba enggak luka?" tanya Arashya kepada Shafa. Meski sedikit cemburu, Shafa menjawabnya dengan gelengan kepala. Sebab, tanpa dirinya bertanya pun. Laiba menunjukkannya dengan lanjut mengendarai sepeda motor. Bahkan, mulutnya tak meringis sakit sama sekali.

"Lukamu?" Arashya menunjuk telapak tangan Shafa.

"Sekarang baru kerasa sakitnya. Tapi ... tak apa, tidak terlalu."

"Saya pergi dulu, ya, Mbak."

Arashya berjalan dengan tergesa menuju rumah Laiba. Meski berusaha tidak peduli, hatinya terus mendorong meski hanya sekedar tanya bagaimana?

Di luar, ia berhenti ketika mendengar suara Endang tengah mendumel.

"Kok, bisa-bisanya Kang Rashya datang menjemput Mbak Shafa saja. Dia tidak memikirkanmu yang juga terluka? Mentang-mentang sudah punya calon jadi lupa sama temen kecilnya."

"Bu, sudahlah. Lagi pula aku juga selamat sampai rumah."

"Tapi tetap saja kamu terluka, dan terpaksa pulang nyetir motor sendiri."

"A-auh!"

Mendengar nada kesakitan Laiba membuat Arashya merasa tak enak hati. Gadis kecil yang masih berada di hati itu terluka, dan ia tidak peduli.

"Maaf."

Arashya berdeham pelan menetralkan suara. Ia mengucap salam. Terdengar beberapa kali penolakan dari Laiba ketika Endang mencoba membukakan pintu.

"Buat apa dia kemari. Tidak usah dibuka, Bu. Semua orang sudah tahu bahwa Kang Rashya tunangan Mbak Shafa. Bagaimana kalau warga ada yang salah paham?"

"Nduk, enggak sopan kalau begitu. Dia ustaz, dan dia sebagai tamu. Jangan sangkut-pautkan dengan masalah pribadi."

Laiba menunduk. Kembali menutupi lututnya yang baru saja diobati. Gadis itu ikut berjalan di belakang sang ibu membukakan pintu untuk Arashya.

"Silakan masuk," ujar Endang membuka pintu rumahnya lebar.

"Ibu buatkan minum." Laiba menuntut dengan mata agar ibunya tetap tinggal. Namun, seolah memberikan waktu berdua, Endang pergi begitu saja.

"Kenapa tidak bilang kalau ada yang sakit?"

"Apa pedulimu?" Laiba berpaling. Raut wajah khawatir Arashya membuat hatinya goyah. Jangan sampai! Karena lelaki yang duduk berseberangan dengannya sudah terikat dengan putri ustaz.

"Seperti yang kukatakan, saya akan pulang terlebih dulu dan meminta seseorang menjemputmu."

"Tidak perlu. Saya melihat Mbak Shafa membawa ponsel. Jika Kang Rashya niat membantu, bisa pinjam dan menelepon orang rumah. Tidak perlu membuatku menunggu."

"Saya tidak berpikir sampai situ."

"Karena terlalu khawatir dengan calon istri. Saya paham."

"Mbak, tolong! Jangan membuat saya serba salah. Kenapa setelah memilih Mbak Shafa seperti permintaanmu, kamu jadi bersikap begini?"

Laiba menunduk. Jika saja Arashya tahu isi hatinya tanpa perlu ia katakan.

"Rasanya, kebanyakan lelaki selalu menuruti logika. Saat memutuskan sesuatu, mereka buru-buru."

"Aku diberikan waktu tiga hari. Hari terakhir aku datang meminta jawaban darimu!"

Arashya mulai tersulut emosi. Tidak mengerti dengan pola pikir Laiba yang menurutnya berbelit.

"Kang Rashya mengenalku sejak kecil. Bukan sehari-dua hari. Seharusnya sudah hafal dengan kebiasaanku, bukan?"

"Ya! Kamu gadis keras kepala, selalu minta diperhatikan, maunya ditebak tapi tidak bicara. Saya manusia yang tidak mengerti isi hati seseorang terlebih wanita. Jangan salahkan saya jika memilih Mbak Shafa yang banyak bicara!"

Arashya bangkit dengan emosi yang menutupi hati. Sesaat ia menoleh ketika terdengar suara tangis seorang gadis, ia baru saja melukai gadis itu. Entah yang ke berapa kali.

***

"Kang, minta tolong umumkan ke santri kelas tiga, Laiba belum bisa berangkat ngajar. Suruh mereka belajar mandiri, atau tidak pulangkan saja."

Arashya yang sudah rapi dengan setelan santrinya mengangkat alis. "Kenapa enggak ngajar, Bu?"

"Sejak bertemu dengan Kang Rashya tadi, Laiba ngurung diri di kamar terus. Waktu dicek, suhu badannya naik. Mungkin akibat luka memar di lututnya juga. Ya sudah, saya permisi."

Bahkan, Arashya menyadari, sikap Endang kepadanya tak lagi hangat seperti dahulu kala. Semuanya dengan cepat berubah.

"Mbak Iba sakit?"

Tanggapan para santri di kelas Laiba membuat Arashya tersenyum sedih. Ia yakin, sakitnya juga disebabkan olehnya.

"Aku paling enggak suka sama laki-laki yang kasar dan suka bentak. Almarhum ayah orangnya bijak, beliau tegas, tapi bukan bentak," ucap Laiba beberapa tahun lalu. Kepergian ayahnya membuat gadis itu terpukul. Katanya, tidak ada yang lebih baik daripada ayahnya.

"Kalau kamu mau jadi suamiku suatu saat nanti, kamu harus kayak ayah, ya. Aku mencintai semua orang yang mirip seperti ayah."

Hati Arashya teriris menyadari siang tadi ia membentak gadis rapuh yang mencintai sosok ayah.

"Mbak Iba sakit apa, Kang Ustaz? Apa karena waktu itu makan es krim sama Eva?" Mata gadis kecil itu berkaca-kaca mendengar ustazah kesayangannya sakit.

"Beliau hanya demam biasa, doakan cepat sembuh, ya." Arashya mendaratkan tangan kekarnya di atas kepala gadis yang menunduk sedih tersebut.

"Eva sayang banget sama ustazah, eh Mbak Iba. Waktu jalan-jalan dulu, Eva manggilnya ustazah, terus disuruh panggil Mbak Iba aja. Katanya biar lebih dekat. Mbak Iba baik banget, Eva dibelikan es krim, dan-" Ucapan bocah itu terpenggal karena tangisnya. Ia terisak. Dalam gendongan Arashya, Eva terus berontak minta diturunkan agar bisa menjenguk ustazah kesayangannya.

"Mbak Iba ...!"

"Banyak sekali yang menyayangimu. Jika satu di antaranya tahu aku penyebab laramu. Aku pasti dilaknat karena doa-doa mereka. Maaf."

***

LAIBA ARASHYA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang