8. Di Balik Perubahan Sikap

117 10 0
                                    

Jantung gadis berkhimar hitam bertalu ketika tak sengaja melihat seorang lelaki duduk di fondasi TPQ kelas lima.

Laiba menunduk ketika melewati Arashya. Namun, sampai langkahnya yang ke sekian, Arashya tidak juga menyapa.

Dengan enggan, Laiba terpaksa berbalik memandangi lelaki dengan kemeja marun tengah melamun. Entah karena apa, padahal santrinya sudah pasti menunggu di dalam.

"Hm, tidak biasanya." Laiba mengangkat bahu. Masuk ke kelas, raut yang semula berkerut bingung menjadi tersenyum. Para santri tengah menunduk menghadap kitab dan buku catatan masing-masing. Sesuai yang dikatakannya hari lalu, kelasnya akan ujian.

Pembukaan kelas berjalan dengan semestinya. Laiba mulai menuliskan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh para santri. Menyuruh mereka mengumpulkan buku ke mejanya di depan.

"AL-Ilmu maa fiis shudur laa fis suthur. Ilmu itu apa yang ada di dada, bukan di tulisan," terang Laiba. Gadis itu tersenyum lebar ketika anak didiknya yang rata-rata berusia sembilan tahun menanggapi dengan anggukan kepala.

"Mbak Iba kasih waktu setengah jam untuk mengerjakan."

Laiba enggan bila disebut 'Ustazah'. Ia selalu memanggil namanya dengan sebutan 'Mbak Iba'. Dan sebagian santri, ada yang mengikuti.

Kebiasaannya, Laiba mulai membuka buku diary yang selalu dibawa guna mengusir bosan. Menari-narikan pena di atas kertas, satu kalimat melintas.

"Akhofu alaika min ayyi huznin yasriku ibtisamataka."

***

Laiba merasakan sesuatu yang tidak bisa dijabarkan. Hanya karena plastik kresek hitam yang menghampiri rumahnya ia menjadi menangis semalaman. Sungguh! Tiada yang lebih menyakitkan selain karena harapannya telah dipupuskan.

Jajanan yang dimakannya usai salat Isya, ternyata merupakan bawaan dari Arashya untuk Shafa.

"Pantas saja sore tadi kamu enggan menyapa. Bahkan, untuk sekadar menatap mukaku kamu sungkan."

Matanya kian membengkak. Gadis itu bergulung di bawah selimut dan membenamkan wajah ke bantal. Bukan salah Arashya, itu memang salahnya. Ia yang memintanya menikahi Shafa, dan saat terlaksana, Laiba tidak tahu harus berbuat apa.

"Ibu juga kecewa. Melihatnya yang selalu akrab main ke rumah, Ibu pikir Kang Rashya akan serius menikahimu."

Endang menarik selimut yang menutup tubuh mungil Laiba. "Kamu patah hati?"

"Pertanyaan macam apa itu, Bu? Jawabannya sama dengan Ibu bertanya kapan aku mati, bukan?"

Ya, jawabannya sudah pasti. Endang pun tahu, kedekatan putrinya dengan Arashya sudah terjalin lama. Saat Laiba kecil, Arashya selalu menemani. Namun, takdir berkehendak lain. Arashya memilih Shafa.

"Tidak habis pikir, kenapa Kang Rashya tega begitu kepadamu?"

"Ibu, jangan memaksakan kehendak. Siapa yang tidak menginginkan Mbak Shafa?"

Endang mengangguk. Mengelus khimar Laiba yang kusut.

"Itulah mengapa, antara perempuan dan lelaki tidak boleh terlalu dekat. Ujung-ujungnya pasti timbul perasaan yang memikat."

***

"Kang! Kang! Tolong boncengkan putriku!"

Arashya mengangguk. Setengah perjalanan, barulah ia temui gadis berseragam merah-putih tengah berjalan pelan dengan memegangi tas.

"Laiba," panggilnya.

"Hm?" Laiba mengernyit heran ketika bocah yang tiga tahun lebih tua memberhentikan motor di sampingnya.

"Ibumu menyuruhku mengantarmu. Lihat, jalanan masih panjang, ya."

Laiba mengangguk. Jalanan yang menggunung itu membutuhkan beberapa menit jika ditempuh melalui kaki kecilnya. Laiba mendapatkan uang bantuan dari sekolah. Untuk mengambilnya, ia harus pergi ke kecamatan dengan menaiki mobil pick-up. Sialnya, karena kesiangan, ia harus berjalan kaki mengejar mobil yang berhenti menunggu di atas sana.

"Hei, ayo!" Arashya melambaikan tangan. Beberapa kali paksaan, akhirnya Laiba menaiki jok belakang motornya.

"Kamu kelas berapa?"

"Lima," jawabnya singkat.

"Kamu terlalu mungil menjadi murid kelas lima. Tubuhmu kecil sekali, dan lagi, wajahmu selalu manyun seperti bayi."

"Dan kamu terlalu kecil untuk mengendarai sepeda motor."

Arashya kicep. Gadis yang diboncengnya itu agaknya judes. Terlihat dari satu-dua penggal kata saja yang keluar dari mulut.

"Terima kasih. Omong-omong, caramu mengendarai motor seperti anak kecil yang baru saja berlatih dengan sepeda beroda tiga."

Gadis berseragam itu berlari menaiki mobil meninggalkan Arashya yang masih bergeming.

Triiing!

Arashya tersentak. Segera bangkit menghampiri ponsel yang diletakkannya di nakas. Semula, lelaki itu berdiri di samping jendela sembari mengingat awal pertemuannya dengan Laiba. Mereka sekadar dekat sebagai tetangga, dan sejak saat itu, Arashya mulai mendekati. Baginya, Laiba menarik karena sikapnya yang judes.

"Untuk apa Ayah menghubungiku?"

"Ayah dengar dari orang desa yang merantau kalau kamu sudah meminang gadis. Selamat, ya. Jangan seperti Ayah yang tega mencampakkan ibumu demi wanita yang sekarang tega meninggalkan Ayah."

Arashya tersenyum sinis. "Memang begitu jalannya, ketika seorang lelaki tergoda menikahi wanita yang lebih cantik dari yang menjadi istrinya. Maka, suatu saat, mantan istrinya jauh lebih cantik daripada yang sekarang menjadi istrinya. Begitu juga bagi seorang wanita. Dulu, bagi gadis itu, Ayah terlihat tampan. Tapi, lihatlah sekarang! Dia sudah melihat yang lebih tampan hingga tega meninggalkanmu."

Dari seberang, tidak lagi terdengar suara. "Bukankah begitu, Ayah?"

Arashya menekan kata 'ayah' dan menutup panggilan. Memblokir nomor kontaknya agar lelaki yang menyakiti ibunya tidak bisa lagi menghubungi.

"Bu." Arashya memundurkan tubuh karena kaget. Untunglah, ponsel di genggamannya tak jatuh.

"Kamu yakin, dengan menikahi gadis yang tidak kamu cintai bisa mengantarkanmu menuju rumah tangga bahagia?"

"Insya Allah, Arashya akan mencoba buka hati untuk Mbak Shafa."

"Tidak terus dibayang-bayangi Laiba?"

"Itu ... akan sedikit sulit, Bu. Tapi yang jelas, selagi Arashya mau, pasti Arashya mampu."

"Ibu percaya kamu sudah memikirkannya dengan baik. Karena Ibu juga yakin, kalau kamu tahu betul bahwa pernikahan merupakan ibadah terlama. Bukan hanya sehari-dua hari. Tapi sehidup sesurga."

***

Shafa memegangi dadanya yang belum juga berhenti berdetak karena Arashya. Lelaki itu sudah memikatnya selangkah lebih dekat dengan pernikahan. Ia merasa akan menjadi wanita yang paling bahagia apabila ijab sudah terucap dari bibir lelaki yang dipujanya.

Selawat terus terlontar dari bibir mungilnya. Sebulan lagi, seperti permintaan sang ayah, Arashya akan memikatnya pada janji suci.

Ia akan berbagi kebahagiaan kepada Laiba yang selama ini sudah sangat dekat dengannya. Biar besok pagi, ia temui gadis yang setahun lebih muda darinya.

"Yaa Rabb, terlepas dari penyakit yang diderita, hamba tidak mengapa jika takdir bersamanya tak lama. Asal Engkau izinkan hamba mencintainya sepanjang umur. Berkahi cinta yang bersemi dalam hati ini. Aamiin."

***

Bersambung.

Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca.

Salam Sayang
Author Amatir

LAIBA ARASHYA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang