23. Bertahan

129 10 0
                                    

“Laiba, kamu buat sarapan. Biar aku yang cuci baju, ya.”

Kesepakatan kedua sahabat itu dimulai. Farikha  memasuki satu per satu kamar dan mengambil baju-baju yang telah kotor. Gadis itu sebenarnya tidak enak mengetahui bahwa ketiga anak majikannya merupakan seorang laki-laki. Namun, bagaimana lagi?

Agama mereka non-muslim dan mereka memberikan kesempatan kepada kedua gadis yang bekerja untuk melaksanakan salat.

Laiba berkutat dengan alat dapur. Ia memasak nasi goreng dan telur ceplok. Seusai itu, ia menyajikannya di meja makan. Semuanya beres! Ia telah menyapu, Farikha telah mengepel. Saat Laiba membuat sarapan, Farikha masih menjemur.

Laiba prihatin. Bagaimana bisa mencuci baju di lantai satu, tetapi menjemurnya ke lantai empat? Menaiki undakan tangga dengan membawa baju basah sebanyak itu?

Laiba menghela napas. Tatapan-tatapan dari anak majikannya membuat ia risi. Laiba toleransi karena mungkin saja dalam agama mereka tidak melarang.

“Siapa namamu?” Spontan Laiba berbalik. Mendapati anak sulung sang majikan berdiri tepat di belakangnya.

“Mas Ardi?” sapa balik Laiba. Mencuci tangan dan sedikit menjaga jarak.

“Aku bertanya namamu.”

Untunglah Farikha datang, lelaki berusia 27 tahun itu meninggalkan keduanya begitu saja.

“Sepertinya aku tidak akan betah.” Laiba mulai pesimis. Meski yang dikatakan bosnya mereka boleh salat, tetapi sebaliknya. Baru satu rakaat saja, ia sudah memanggil-manggil namanya.

“Tapi, masa training kita, kan tiga bulan. Lagi pula, kita tidak pernah tahu alamat lengkap ini. Seolah Bu Bos sengaja agar kita tidak bisa melarikan diri.”

“Em, bagaimana jika kita nekad kabur?” Laiba memberikan usulan.

Kebetulan, hari itu bosnya tengah berlibur. Di ruangan bawah tanah, mereka tidak mendapati signal. Mengendap-endap keluar, mereka menuju ke balkon.

“Harus menghubungi orang rumah.”

Laiba memperhatikan kontak dalam ponselnya. Hanya ada nama Arashya di sana.

“Tidak apa-apa?” tanyanya pada Farikha.

“Insya Allah enggak apa-apa. Kita, kan minta bantuan.”

Panggilan tersambung, namun tidak lekas dijawab.

***

“Kang ... tolong, saya enggak betah kerja di Jakarta. Saya harus gimana?”

Sesekali Arashya menoleh ke belakang untuk mengawasi apakah sang istri terbangun atau tidak. Lelaki itu mengelus dada melihat mata cantik istrinya masih terpejam.

“Alamatnya di mana?”

“Kami tidak tahu pasti, Kang. Yang jelas, ini ada di Jakarta Pusat.”

“Em ... begini, kalian coba keluar mencari jalan raya. Biasanya memang jauh dari Komplek. Jangan bawa apa-apa, bawa dompet dan baju ganti tiga, pakai semuanya sekalian,” titah Arashya. Pengalamannya tidak betah saat berangkat pondok dulu membuatnya mencari cara agar bisa menolong.

“Insya Allah sore nanti saya ikut travel ke Jakarta. Kalian tunggu di sana saja.”

Arashya gegas bersiap. Jarum jam menunjukkan angka empat, itu tandanya waktu sudah mepet.

Saat Arashya bergerak ke sana-kemari, tanpa sadar Shafa telah terbangun dan menatapnya kebingungan.

“Mas,” panggilnya parau.

LAIBA ARASHYA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang