Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kali ini kepulangan Arashya dinanti Afidah. Wanita sepuh itu bahkan sudah menyuruh Laiba agar membantunya membuat obat tradisional.
Arashya bergidik geli ketika menuangkan cacing-cacing tanah dari dalam plastik. Meski tadi ia mengambilnya, namun tetap saja geli. Berbeda dengan Laiba yang membuat cacing menjadi seperti mainan.
"Mbak, tolong itu dikeluarkan isinya. Sisakan kulitnya, ya! Ibu mau menyuapi Mbak Shafa makan. Kang Rashya bersihkan diri, tidak usah kembali ke sawah."
Arashya dan Laiba menganggukkan kepala patuh. Keduanya adalah santri yang mengabdi. Namun, sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Ustaz Akbar dan sang istri.
"Mau saya bantu?" Arashya menawarkan diri. Dan kelemahan Laiba kembali diuji. Bukannya cuek, Laiba justru membuat Arashya kelabakan karena cacing yang ia lemparkan.
"Mau bantu apa kalau pegang cacing saja enggak berani."
Entahlah, Arashya merasa sangat berdosa ketika perasaan sayangnya timbul hingga permukaan. Lelaki itu memperhatikan Laiba yang dengan senang mengeluarkan isi perut cacing.
Tak ingin lebih jauh membuat dosa saat sang istri tengah kesakitan, Arashya bangkit untuk membersihkan diri.
Laiba menatap nanar punggung yang menjauh tersebut. "Andaikan." Satu kata itu mewakili semuanya. Andaikan dulu Laiba tidak gengsi mengakui perasaannya, mungkin sekarang mereka tengah berbahagia.
"Astagfirullahalaziiim ...."
Langkah berikutnya, Laiba menyangrai kulit-kulit cacing yang telah ia kerjakan tadi. Tak butuh waktu lama, ia angkat dan menumbuknya hingga menjadi bubuk.
Ketika Afidah datang, ia tersenyum.
"Air panasnya sudah ada?"
"Sudah. Monggo, Bu."
Laiba menolak ketika diajak masuk ke kamar Shafa. Jika dulu iya-iya saja, kali ini tidak lagi. Ia merasa lancang memasuki kamar Shafa yang juga menjadi kamar Arashya.
Merasa lancang atau merasa sakit hati?
Pertanyaan itu spontan melintas dalam benaknya. Laiba menggeleng. Menghalau pikiran-pikiran yang hanya akan membuat rasa sakitnya makin bertambah.
Dari pintu yang terbuka, Laiba mencoba tahan melihat pemandangan seorang suami yang tengah menenangkan sang istri.
"Jika kamu terus berada di situ, kamu akan terluka lebih dalam." Batinnya menyadarkan. Laiba melenggang pergi melanjutkan pekerjaan.
"Ayo, dijamin seratus persen kalau penyakit thypus-mu bakal sembuh total setelah minum racikan herbal ini. Mbak, asal kamu tahu, tipes itu bisa fatal kalau tidak segera diobati."
"Bu, kenapa harus cacing, sih. Mbak jijik."
"Dik, itu sudah seperti kopi. Minum pelan-pelan dan bayangkan kalau itu kopi hitam biasa, ya." Arashya ikut menenangkan. Mengelus lembut kepala sang istri.
"Ditambah gula, kan, Bu?"
Pertanyaan konyol.
Afidah dan Arashya tidak bisa menahan tawa.
"Alhamdulillah." Shafa menghela napas lega ketika berhasil meminum obat cacing tersebut.
"Ramuan ini bekerja secara bertahap. Kamu harus minum minimal sehari sekali sampai sembuh. Selamat istirahat, Mbak."
Shafa melotot. Ia menggigit lengan Arashya. "Mas ...."
Kepalanya menggeleng, netranya berkaca.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
LAIBA ARASHYA (Selesai)
Romans"Tidak semua yang pertama menjadi pasangan surga. Karena sebagian di antaranya, yang kedua menjadi terakhir." *** Menjadi orang dekat dalam hidup Mahreen Shafana Almahyra-putri ustaz yang penyakitan. Arashya terpaksa menikahinya setelah Laiba mengan...