22. Kisah Hidup Farikha

103 9 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

HAPPY READING:)

***

“Fa, bolehkah jika aku ikut kamu berangkat?” Laiba iri menatap Farikha dengan tas besarnya, tengah menunggu travel yang akan membawa ke kota.

“Kerja tidak enak, kamu bersyukur jadi pengajar TPQ. Sudahlah, nikmati saja.”

“Aku ingin keluar dari zona nyaman, aku tidak mungkin melupakan Kang Rashya jika kerjaanku terus bertemu dengannya di rumah Pak Ustaz.”

“Akan aku kabari jika ada lowongan kerja. Yang terpenting, kamu siap, dapat rida dari ibu dan santri-santri kamu.”

Laiba mengangguk mantap. “Aku harap, tidak lama.”

Seharusnya Farikha yang iri kepada Laiba, bukan? Ia sudah enak menjadi pengajar TPQ dan hidup di rumah saja. Berbeda dengannya yang harus mencari uang di perantauan. Gadis tanpa ekspresi itu memiliki luka yang dalam. Berpisahnya kedua orang tua membuat ia sulit sekali bersosialisasi. Namun, dengan terpaksa ia berdamai karena keadaan sang nenek membuatnya harus mencari uang.

Bermodalkan niat tanpa adanya ijazah sekolah, Farikha bersyukur diterima kerja di sebuah Perusahaan Catering yang ada di Jakarta. Sudah bertahan tiga tahun semenjak neneknya menderita stroke.

Terkadang, ia lelah. Uang yang dihasilkan itu hanya akan terus dikirimkan ke rumah untuk berobat. Namun, tiga tahun sudah neneknya belum juga sembuh. Wanita tua tersebut bahkan hanya bisa berbaring. Saat Farikha bekerja, maka yang mengurus neneknya adalah tetangga. Mereka peduli, meski acap kali menggunjing kelakuan sang ibu yang keji.

Tak jarang, Laiba pun terus menghubungi gadis itu mengabarkan kondisi neneknya. Helaan napas terdengar dari mulut Farikha ketika kondisi masih sama.

“Nenek ingin ketemu ibumu,” ujarnya suatu hari. Kalau orang Jawa memercayainya, sebelum bertemu dengan salah satu anaknya, ia akan kesulitan menghadapi mati.

Berkali-kali Farikha mencoba menghubungi sang ibu yang bahkan ia sendiri tak tahu di mana tempat tinggalnya, jawabannya selalu sama. Ia tidak bisa.

“Tolong lewat video call saja jika Ibu keberatan mengunjungi kami!” sentaknya. Gadis itu kalut.

“Saya sibuk.”

Sejak saat itu, Farikha enggan lagi menghubungi.

Saat tubuhnya sudah setengah masuk di pintu travel, seseorang menahan dengan meneriaki namanya. “Nenek sekarat, mau bertemu kamu!”

Tas besar itu tergeletak. Farikha berlari kencang menuju rumah.

“Saya sudah ikhlas,” ujar Nenek Casumi terbata-bata. Di sudut mata, ada genangan air berisi kerinduan terhadap kedua putrinya.

Farikha menangis. Sungguh! Ia tidak mengerti dengan jalan pikiran ibu dan tantenya. Keduanya sebagai anak begitu tega menelantarkan orang tua.

“Nek, sembuhlah! Farikha mohon. Jangan tinggalkan Farikha sendirian. Nenek ...!”

Ustaz Akbar yang baru saja datang menyingkirkan tubuh ringkih Farikha. Ia menuntun Nenek Casumi menuju Sang Ilahi. Tepat pada helaan napas yang ketiga, matanya terpejam. Detak seluruh nadi telah berhenti hingga tubuhnya seketika lemas dan dingin.

Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.” Serentak mengucap kalimat itu. Berbeda dengan Farikha yang mendekat dan meraung.

“Nenek enggak boleh pergi! Nenek ....”

Laiba mendekap sahabatnya erat. “Kamu mau Nenek sembuh, kan?” bisiknya sangat pelan.

LAIBA ARASHYA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang