18. Benda Dua Fungsi

113 10 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahim
Happy Reading :)

“Selalu berakhir seperti ini, makanya selalu Ibu larang pergi ke sawah. Takutnya hujan, tubuhnya enggak kuat.”

Afidah menarik selimut menutuptubuh Shafa. Di sampingnya, ada Arashya yang menyuapi makan.

“Kamu, Kang! Sudah tahu istrinya baru sembuh sakit, kok bisa diizinkan ikut ke sawah. Ya, kalau enggak hujan si enggak apa-apa.”

Arashya menunduk. Mungkin Afidah terlalu khawatir. Terlihat beberapa kali gadis yang terbaring lemah itu mengelus punggung tangan tua tersebut guna menenangkan.

“Shafa enggak apa-apa,” ujarnya lemas. Pun karena tak ingin ibunya terus memarahi Arashya yang tak bersalah.

Setelah kepergian Afidah, Shafa membalikkan tubuh membelakangi sang suami. “Shafa selemah ini, Mas. Hanya karena hujan, langsung tumbang. Shafa pernah berpikir, kalau hidup Shafa selama ini enggak berguna karena enggak bisa bantu-bantu.”

“Mas tahu, lulus sekolah dasar sebelum Shafa berangkat ke pondok, Shafa harus operasi kelenjar getah bening yang pada saat itu membengkak. Shafa juga pernah di-opname kurang lebih seminggu setelah dinyatakan terinfeksi demam berdarah.”

Arashya mengelus punggung lemah yang membelakanginya.

“Harus tetap bersyukur. Sebagai makhluk paling sempurna yang diciptakan oleh Allah, kamu jangan merasa insecure. Ingat lagi apa tujuan Allah menciptakan kita? Kamu pun paham, bukan? Dalam surat Az-Zariyat ayat 56, Allah katakan bahwasanya Ia tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Nya. Allah ingin kita beribadah, Dik.”

“Dan kamu harus lebih bersyukur lagi ketika mendengar ini.” Arashya memutar tubuh sang istri. Lelaki itu ikut merebahkan diri di sisinya—menjadikan lengannya sebagai bantal untuk Shafa.

“Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW mengunjungi seorang teman wanita—Ummu Sa’ib. Ia juga menderita demam. Dan bolak-balik Rasulullah bertanya ada apa. Lalu, ia menjawab, “Saya demam tinggi. Semoga Allah mengutuknya.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Jangan mengutuk demam, karena sesungguhnya itu mengampuni dosa seperti tungku membersihkan kotoran pada besi,”(HR Muslim).

Saat kamu memasukkan besi ke dalam tungku, itu dipenuhi dengan kotoran. Namun, ketika kamu mengeluarkannya, akan menjadi 100 persen murni. Jadi, Rasulullah membandingkan demam dengan tungku yang merupakan perbandingan sangat baik karena keduanya terbakar.

Dalam hadis lain disebutkan, itu akan menyingkirkan dosa-dosamu seperti pohon di musim gugur. Saat kamu menggoyangkan semuanya, daunnya akan jatuh. Begitu juga penyakit akan menyingkirkan dosa-dosamu.”

***

Laiba melirik malas ke arah ponsel yang sedari tadi terus berbunyi. Ia menghela napas, dan dengan kesal mengangkat bobot tubuh dari tempat ternyamannya untuk meraih benda tersebut.

Spam pesan dari Adnan bermunculan di layar. Melalui sebuah aplikasi, Laiba menyesal pernah menyetujui permintaan pertemanannya. Rusuh! Mengganggu waktu istirahatnya.

Pada pesan terakhir, Laiba membalas.

[Tidak usah main ke rumahku!]

[Siapa yang bilang akan ke rumahmu? Aku hanya berkata akan mampir ke desamu. Tentu, ke rumah Ustaz Akbar.]

Balasan dari Adnan membuat Laiba mengerucutkan bibir, sebal. Namun, tanpa disadari justru sikap itulah yang membuat Laiba merasakan nyaman. Setidaknya, Adnan adalah penghibur laranya.

[Masa lalu tidak perlu dipikirkan. Kenapa?]

[Mana kutahu.]

[Ya, karena ada aku yang siap menjadi masa depan.]

[Bisa tolong sebutkan namaku?]

Permintaan Adnan pada pesan kedua membuat Laiba gegas menyebut nama lelaki itu. Lengkap! Ia tahu melalui nama yang dipajangnya untuk menggunakan aplikasi.

[Salah. Namaku Izhar.]

Laiba mengernyit bingung di hadapan layar ponsel. Apa maksudnya? Tak menunggu lama, jawaban lelaki yang masih asing menurutnya itu membuat lengkungan pada bibir.

“Ya, namaku Izhar. Makanya aku bisa menyampaikan perasaanku dengan jelas. Coba saja namaku Ikhfa, pastilah samar-samar menyukai tanpa mengungkapkan,” cibir Laiba membaca ulang pesan dari Adnan.

Minggu berikutnya, Laiba mulai beraktivitas kembali di rumah Shafa. Seperti membantu memasak, mencuci piring, dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya. Namun, setiap kali Ustaz Akbar mengacungkan tangan hendak memberi upah. Dengan sopan gadis itu menolak. Kembali mengungkit jasa gurunya yang tidak ada tandingannya meski puluhan tahun ia mengabdi.

“Aku iri kepadamu yang cekatan ke sana- kemari.” Laiba tersentak. Ia menunduk dan tersenyum. “Saya lebih iri dengan Mbak Shafa yang ilmu agamanya mumpuni."

Seruan salam terdengar dari depan. Laiba melotot melihat sosok yang selalu bertukar pesan dengannya ada di hadapan. Lelaki tampan dengan alis tebal itu memakai sarung hitam, sweater putih, serta peci dengan warna sepadan yang dimundurkan. Di tangan kanan, terlihat sebuah kresek hitam berukuran besar ditentengnya.

Adnan terus mengulas senyum mengamati gadis yang masih termenung akan hadirnya.

“Kebetulan, ya, tak perlu ke rumahmu pun kita bertemu.”

Laiba berpaling, menghindari tatapan tanya yang timbul dari Shafa. Belum lagi, keadaan Arashya yang tiba-tiba membuatnya diam mematung.

“Saya benci siapa pun yang membuat Mbak Laiba sakit hati sampai trauma mencintai lagi. Masalahnya, dengan otomatis pula dia akan susah membuka hati dan saya semakin sulit untuk mendekati. Jadi, seolah-olah dia sudah memagari diri dari setiap lelaki.” Adnan berbicara tegas di hadapan Arashya dan Shafa. Keduanya terpekur, tak tahu harus menanggapi bagaimana?

“Tahu dari mana kalau Mbak Laiba trauma mencintai lagi?” tanya Arashya ketus.

“Kami sering bertukar pesan.” Adnan mengabaikan raut wajah Arashya. Memilih menenggak teh yang ada di hadapannya. Spesial, teh tersebut dibuat oleh gadis yang disukainya.

“Sepertinya, ada sebagian wanita yang mencintai satu lelaki saja. Tetapi, karena lelaki itu menyakiti, dia tidak ingin membuka hati lagi.” Adnan mencoba menyimpulkan apa yang ditangkapnya dari Laiba. Ketidaktahuan lelaki itu tentang dua orang di depannya, membuat Adnan lugas berbicara.

“Kang! Boleh bicara?”

Seperti orang tidak tahu sopan santun, Laiba tiba-tiba datang dan memotong ucapan Adnan.

“Jangan bahas apa pun di depan mereka. Saya percaya kepada Kang Adnan, makanya mau bercerita. Tapi ... bukan berarti Kang Adnan juga bisa seenaknya memberitahu banyak orang.”

Laiba dapat menangkap, bahwa kebiasaan lelaki itu ialah menyugar rambut. Beberapa kali ia menggumamkan istigfar sembari menatap Laiba.

“Maaf, kukira karena mereka dekat denganmu, kamu tidak akan masalah. Sekali lagi, aku kelepasan. Janji tidak akan mengulangi.”  Adnan tersenyum canggung.

Laiba merasa tak enak, ia mengulurkan tangan dengan senyum ceria.

“Ada oleh-oleh untukku?” Matanya yang bulat berkedip-kedip. Pipinya juga dikembungkan. Sehingga Adnan memilih memalingkan wajah menghindari keinginan untuk mengelus puncak kepala gadis non-mahramnya tersebut.

“Aku bawakan spesial. Ada di jok motor.” Adnan mengulurkan kunci motor. “Mau buka sendiri atau dibukain?”

Laiba mengerucut. “Apakah aku tidak sesopan itu?”

“Wah!” Laiba berbinar melihat usek—makanan khas Paninggaran yang menyerupai kerupuk.

“Itu titipan dari Ibu untuk calon mantu. Makanya spesial udah ada sambalnya.”

Laiba memeluknya erat. Jajanan itu yang akan menemaninya saat ia bosan menonton tanpa mengunyah makanan.

“Ada satu lagi.” Adnan mengambil sesuatu dari dashboard motor. Tasbih digital berwarna hitam ia ulurkan. “Aku mengikatmu dengan ini. Benda yang membuatmu mengingat Allah, tapi juga mengingatku.”

***

 Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca.
★★★

LAIBA ARASHYA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang