6. Dua-duanya Bimbang

117 11 0
                                    

"Pengertian saktah yaitu berhenti sejenak tanpa mengambil napas. Lihat contohnya, yang saya ambil ada pada surat Al-Kahfi ayat pertama. Perhatikan baik-baik!”

Laiba mulai menjelaskan detail materi yang dibawanya. Beberapa kali, dirinya mencoba menjelaskan dengan cara yang paling mudah dipahami. Tak jarang, tangannya pun ikut bergerak untuk menyesuaikan napas ketika praktik.

“Saktah ada empat dalam Al-Quran; Surat Al-Kahfi ayat pertama, surat Yasin ayat lima puluh dua, Surat Al-Qiyamah ayat dua puluh tujuh, dan surat Al-Muthaffifin ayat empat belas. Bacaan saktah ditandai dengan huruf sin kecil atau dengan tulisan lengkap.”

“Cara bacanya jangan lupa, berhenti sejenak tanpa bernapas sepanjang satu alif dua harakat!” Laiba menekankan suaranya kepada para santri.

“Jika sudah paham, silakan tutup kitabnya. Mari, kita tes dengan materi-materi minggu lalu.”

Laiba mempunyai cara mengajarnya sendiri. Setelah materi, gadis itu akan melangsungkan praktik karena menurutnya efektif. Para santri akan lebih mengetahui yang telah dipelajari.

Di kelas sebelah, Arashya juga tengah mengajar kitab Safinatun Najah.

“Ada yang tahu latar belakang kitab ini?” tanyanya sembari menunjukkan sampul kitab. Safinatun Najah.

“Baik, tidak ada yang tahu, ya. Jadi, Kitab ini ditulis oleh Syaikh Salim ibn Sumair Al-Hadrami, seorang ulama asal Yaman yang wafat di Jakarta, pada abad ke-13 H. Kitab ini populer di kalangan pondok-pondok pesantren Nahdliyyin dan masuk sebagai salah satu materi kurikulum dasarnya.”

“Kitab Safinatun Najah merupakan sebuah kitab ringkas mengenai dasar-dasar ilmu fikih menurut mazhab Syafi’i. Kitab ini ditujukan bagi pelajar dan pemula sehingga hanya berisi kesimpulan hukum fikih saja tanpa menyertakan dalil dan dasar pengambilan dalil dalam penetapan hukum. Meski begitu, masih terdapat beberapa permasalahan fikih yang tergolong ikhtilaf di kalangan ulama ahli fikih antar mazhab bahkan di kalangan ulama mazhab Syafi’i sendiri, sehingga diperlukan kesungguhan atau panduan dalam memilih pendapat yang lebih tepat (rajih) sesuai dengan Al-Quran dan Sunah.”

“Saya kasih pertanyaan dari kitab ini yang sudah kita pelajari bersama. Apa itu niat?”

Melihat para santri tengah fokus mencari jawaban, membuat Arashya mengulang masa-masa di pondoknya dulu.

Uthlubul 'ilma minal mahdi ilal lakhdi.

“Tuntutlah ilmu dari buaian (bayi) hingga liang lahat.”

“Ustaz!”

“Silakan, Mbak.”

Sing arane niat, yaiku neja suwiji-wiji kelawan den barengake kelawan agawe suwiji-wiji. Panggonane ono ing ati,” baca seorang santri dengan membaca kitab.

“Ya, betul. Niat itu mengucapkan sesuatu yang disertai dengan tindakan. Niat itu tempatnya ada di hati. Kalau niat wudu, berarti disertakan dengan pembasuhan wajah yang pertama. Kalau niat mandi wajib, itu disertakan dengan membasuh sebagian anggota tubuh. Allahu a'lam bi showab.”

***

Keluarnya Arashya dari kelas bersamaan dengan keluarnya Laiba. Gadis itu acuh tak acuh dengan keberadaannya.

“Mbak, saya—“

“Tidak baik bila mengobrol di sini. Saya pamit.”

Laiba mengucap salam sembari berlalu. Berhadapan dengan Arashya hanya akan membuat hatinya bimbang. Laiba akan mencoba ikhlas, dan menurutnya, tidak menjumpai lelaki itu merupakan pilihan yang tepat.

“Mbak Laiba, mampir sini kalau enggak ada kepentingan!” Shafa dari ambang pintu melambai. Laiba mendekat dengan senyum tipis.

“Ada apa, Mbak?”

“Apa kamu tahu, Kang Rashya menyukai seseorang?”

Laiba meremas jarinya kuat-kuat. Lagi-lagi topik yang dibahas adalah Arashya. Jika begitu, bagaimana hatinya nanti ketika Shafa dan Arashya menikah. Sanggupkah Laiba?

“Kurang paham, Mbak. Memangnya ada apa? Dari kemarin tanya-tanya Kang Rashya terus, naksir, ya?” pancing Laiba.

“Aku rasa, hanya orang-orang yang matanya bermasalah yang tidak menyukai Kang Rashya. Selain saleh, dia tampan dan sabar. Kamu juga tahu, kan?”

“Ah, iya. Semuanya menyukai Kang Rashya.”

“Termasuk kamu?”

Laiba gelagapan. Detik setelahnya, tawa anggun Shafa berderai. Gadis itu menutup mulut dan memegang pundak Laiba.

“Kenapa responsmu berlebihan begitu? Semua orang menyukai Kang Rashya, dan hanya aku yang boleh mencintainya. Suka dan cinta beda. Jika kamu menyukainya, itu tandanya matamu tak bermasalah.”

“Karena?”

“Karena semua orang menyukai Kang Rashya dari segi fisik dan gelarnya sebagai santri dari pesantren terbaik. Makanya, aku bilang yang tidak menyukainya matanya bermasalah. Itu karena bisa dilihat oleh mata.”

“Sedangkan cinta? Itu lebih dari yang kusebutkan tadi. Orang yang benar-benar cinta ingin ikut masuk menyelami hatinya melalui sebuah ikatan halal yang disebut pernikahan.”

Laiba menunduk. Perasaannya sudah tidak lagi nyaman. Dadanya seperti berkobar, dia merasakan panas menjalari tubuh.

“Em ... Mbak Shafa sepertinya sudah siap menikah.”

“Aku siap kapan saja jika bersamanya.”

***

Laiba menjatuhkan diri di ranjang. Hatinya terasa kacau mengetahui Shafa sudah benar-benar terjebak pesona lelaki bernama Arashya. Lelaki dengan kisaran tinggi 176 sentimeter dengan berat badan ideal membuatnya terlihat gagah. Matanya yang besar dan alisnya yang panjang itu membius setiap netra yang memandang. Belum lagi hidungnya yang bangir dan bibirnya yang merah meski sudah mencecap tembakau. Semuanya sempurna.

“Kang Rashya ... bukankah akan malu jika tiba-tiba aku berdoa kepada Allah agar memintamu bersamaku. Sedangkan yang mencintaimu tulus adalah gadis ayu yang lebih mulia. Apa Allah tidak akan tertawa jika dulu berulang aku menggumamkan kata benci dan sekarang tiba-tiba berubah ingin memiliki?”

Laiba mendekap bantal erat. Bahkan untuk berdoa pun, rasanya dia malu. Malu karena pernah berkoar-koar benci dan nyatanya sekarang menangisi.

“Kang, bagaimana jika kamu memilih Mbak Shafa? Bagaimana denganku?” Dengan perlahan namun pasti, air mata mulai membanjiri pipi. Untuk yang ke sekian, Laiba menangisi Arashya. Mulai memikirkan, bagaimana harinya nanti ketika melihat Arashya dengan Shafa?

“Aku pasti sakit. Tapi, bukankah tidak mungkin jika Kang Rashya menolak pinangan dari Pak Ustaz?”

“Ibu ... Kang Rashya akan menikah. Ibu jangan bicara asal-asalan seperti biasa tentang calon mertua dan menantu lagi, ya.”

Endang mengamati putrinya yang tampak lesu.

“Ada apa ini tiba-tiba bilang begitu?”

“Pokoknya jangan dilakukan!”

***

“Arashya sudah sangat dekat dengan Laiba, Bu. Tapi rasanya tak kuasa jika menolak Mbak Shafa.”

“Hust ... diberi waktu tiga hari itu untuk istikharah, kalau perlu minta bantuan sama orang-orang terdekatmu. Biar makin mantap. Ibu juga akan mencoba. Sudah, jangan galau lagi.”

“Bu, tetap doakan yang terbaik, ya. Arashya hanya ingin menikah dengan perempuan yang dicintai.” Bu Fatma mengangguk. “Pasti. Tanpa kamu minta, seorang Ibu akan selalu mendoakan putranya.”

Arashya mengangguk. Mencium tangan sang ibu berulang kali sebagai tanda terima kasihnya. Arashya hanya memiliki ibu, dan ia sebisa mungkin akan membahagiakan wanita itu. Surga bukanlah miliknya, jika tak ada rida ibu. Arashya berusaha menjaga perilaku dan tutur kata agar tidak melukai hatinya.

 ***

LAIBA ARASHYA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang