Bandara Soekarno Hatta, 06.30 WIB
Bian dan Nara baru saja sampai di bandara. Sebelum mereka pergi, Kaila merengek dan menangis. Sudah Bian duga, pasti akan ada drama semacam ini. Seumur-umur, Kaila belum pernah ditinggal Bian sendiri selama beberapa hari. Bian lembur saja Kaila menangis. Memang anak ayah sekali.
Keberangkatan pesawat Bian dan Nara sekitar satu jam setelahnya. Mama Hanna sengaja mengambil penerbangan pagi, karena sesampainya di Bali, Bian bisa langsung jalan-jalan, katanya. Bian hanya bisa mengiyakan sajalah apa yang Mamanya katakan itu.
Setelah beberapa saat menunggu, Bian dan Nara sudah berada di dalam pesawat. Duduk berdua bersebelahan. Kebetulan, Nara mendapat nomor tempat duduk yang berada di samping jendela. Dia bisa melihat pemandangan saat nanti pesawat sudah terbang.
-
Bandara I Gusti Ngurah Rai, 10.00 WITA
Perjalanan penerbangan sekitar dua jam terlewati dengan baik. Tidak ada mabok udara, tidak ada pusing. Bian dan Nara sama-sama enjoy. Selepasnya turun dari pesawat, Bian dan Nara sudah dijemput oleh sebuah mobil pribadi. Entah dari mana asalnya, mereka juga tidak tahu. Tapi, sang sopir berkata kalau beliau disuruh oleh Mama Hanna.
Mobil melaju membelah jalan menuju ke hotel yang akan Bian dan Nara tempati. Perjalanan hanya memakan waktu sekitar empat puluh menit. Baik Bian maupun Nara sama-sama tidak banyak bicara. Entah mengapa. Canggung mungkin.
Sampailah mereka di hotel. Mobil yang membawa mereka ke hotel ternyata sudah disewa pribadi untuk Bian dan Nara. Oh, Tuhan, Mama Hanna benar-benar sedetail ini mempersiapkan segala kebutuhan putra dan menantunya ini.
Baru saja Bian dan Nara turun dari mobil, ponsel Bian berdering tanda telepon masuk. Mama. Bian pun mengangkat telfon itu.
"Halo, assalamualaikum, Ma." Sapa Bian mengawali.
"Halo, waalaikumsalam. Gimana? Udah sampe?" Tanya Mama Hanna di seberang telepon. Suaranya terdengar sangat bahagia.
Bian melihat Nara yang sedang mengamati sekeliling hotel. "Udah, Ma. Baru aja sampe hotel. Kaila gimana, Ma?" Tanya Bian yang sudah pergi sejauh ini masih mengkhawatirkan putrinya itu. Nara tersenyum. Bian benar-benar Ayah terbaik untuk Kaila.
"Aman. Udah ngga usah mikirin Mama sama Kaila dulu. Enjoy, ya, kalian anak-anak kesayangan Mama." Kata Mama Hanna yang sesaat setelahnya mematikan sambungan teleponnya. Bian hanya mengedikkan bahunya.
Bian mengajak Nara masuk menuju meja resepsionis. Belum sampai di sana, Bian dan Nara sudah terlebih dahulu disambut oleh pegawai hotel. Istimewa sekali rupa-rupanya.
"Pak Abian dan Ibu Denara?" Tanya salah satu pegawai hotel. Bian dan Nara serempak mengangguk.
"Mari ikut saya, Pak, Bu, ke kamar lantai dua VVIP." Bian mengerutkan keningnya karena heran mendengar pegawai hotel itu menyebutkan kalau kamar yang dipesan mamanya adalah kamar VVIP.
Bian dan Nara berjalan mengikuti ke mana pegawai hotel itu.
Sampailah mereka di depan kamar yang tertulis nomor 175 itu. Deburan ombak sudah terdengar, padahal kamar belum juga terbuka pintuya. Letak kamarnya strategis. Hanya ada beberapa ruangan di sini. Ya, benar-benar VVIP. Sepertinya memang benar-benar private room.
Bian dan Nara masuk ke dalam kamar hotel yang membuat Nara takjub. Benar-benar VVIP. Tidak bisa dijelaskan, ini lebih dari kata bagus dan nyaman. Belum sempat Nara membereskan barang-barang yang ada di koper, pandangannya tertuju pada balkon yang jika berada di sana dapat melihat salah satu pantai yang ada di Bali itu. Sungguh, pemandangan yang sangat asri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...