#Part-7#

49 11 0
                                    

Waktu pun berlalu. Sudah satu jam Haidar setia untuk memejamkan matanya. Dan sudah satu jam pula guru tak ada yang masuk ke dalam kelas ini bersamaan dengan Winara yang tak kunjung datang.

Namun, selang beberapa waktu kemudian, tiba-tiba Haidar membuka matanya secara perlahan-lahan. Dan mencoba untuk memijat pelipisnya matanya yang terasa berat.

"Eh, lo udah bangun Dan. Gimana? Lo udah mendingan?" tanya Gibran yang saat itu juga menyadari Haidar yang sudah bangun dari tidurnya.

"Hm," jawabnya seraya memperbaiki duduknya.

"Udah jam berapa?" tanyanya menatap Gibran seraya memijat pelipis matanya.

"Udah jam dua," ucap Gibran setelah dia melihat jam tangannya.

"Kenapa gue bisa ketiduran, sih?" tanyanya yang tak pernah berhenti untuk memijat pelipis matanya.

"Tadi-"

Ceklek!

Pintu kelas itupun terbuka dengan masuknya seorang dokter ke dalam kelas ini bersama dengan bu Tina dan diikuti oleh Winara di belakangnya.

"Haidar, bagaimana keadaan kamu, Nak?" tanya bu Tina di saat dirinya telah sampai di mejanya Haidar.

"Eh, sudah mendingan, Bu" jawabnya merasa agak aneh.

"Maaf Bu, ini ada apa, ya?" tanya Haidar yang benar-benar kebingungan.

"Jadi, tadi Winara udah sampaikan semuanya pada Ibu, jadi Ibu memutuskan buat panggilkan dokter saja, supaya kondisi kamu bisa dicek," ucap bu Tina menjelaskan.

"Tapi Bu, saya sudah tidak apa-apa," jawab Haidar.

"Nak Haidar, sekarang kamu mungkin tidak apa-apa, tapi bagaimanapun kondisi kesehatan kamu harus diperiksa, guna kamu juga bisa menyeimbangi semuanya," jelas dokter yang berada di samping bu Tina tersebut.

"Ta-"

"Haidar, sekali saja kamu jangan keras kepala, bisa?" tanya Winara secara spontan.

"Nara!" peringat bu Tina seraya menyuruh Winara untuk tetap tenang.

"Nak Haidar, tidak apa-apa, saya cuma mau mencek keadaan kamu sekarang. Jadi, tidak perlu khawatir, oke!" ucap dokter itu yang mulai memeriksa detak jantungnya Haidar dan denyut nadi siswa itu.

"Gimana, Dok?" tanya Felix penasaran.

"Tidak apa-apa, keadaannya sudah mendingan kok, cuma dia butuh banyak istirahat saat ini," jelas dokter itu membuat ketiga temannya pun merasa lega. Dan begitu halnya juga dengan Winara dan bu Tina.

"Ya sudah, anak-anak, untuk hari ini jam pelajaran kita sampai di sini saja. Dan kalian boleh pulang ke rumah masing-masing," jelas bu Tina yang langsung mendapatkan ekspresi semangat dari para siswa dan siswi XII.MIPA.1.

"Dan untuk Nak Haidar, apa ada yang bisa mengantarkannya pulang?" tanya bu Tina kepada kawan-kawannya itu.

"Biar kami saja, Bu" jawab Gibran dengan cepat dan diangguki oleh Felix bersama dengan Aldo.

"Ya sudah, Ibu titip Haidar pada kalian ya, kalian antarkan dia sampai rumah dengan selamat. Kalau gitu, Ibu permisi dulu, Assalamu'alaikum!" pamit bu Tina dan diikuti juga oleh dokter tadi.

Setelah menjawab salam itu, Winara pun ikut meninggalkan keempat siswa itu dan beralih untuk mengambil tasnya dan meninggalkan kelasnya itu yang hanya berisikan mereka berempat. Setibanya di luar kelas, Winara langsung saja mengeluarkan handphone-nya dari dalam saku roknya. Dan menelepon seseorang.

"Assalamu'alaikum," salamnya di saat teleponnya itu tersambung.

"Wa'alaikumussalam," ucap sosok wanita di seberang sana.

"Em ... Tante sibuk gak? Kalau enggak, apa kita bisa ketemu di cafe ***?" tanya Winara seraya terus melanjutkan langkahnya.

"Hm ... kebetulan saya tidak lagi sibuk. Oke, mungkin sebentar lagi saya akan ke sana, ya."

"Baik Tante, nanti kalau Tante udah sampai, kabarin Nara aja, ya. Kalau gitu Nara tutup teleponnya dulu ya, Assalamu'alaikum!" Setelah wanita di seberang telepon itu menjawab salamnya, Winara pun memutuskan sambungan teleponnya itu dan melanjutkan perjalanannya.

...

Saat ini, gadis itu telah berada di suatu cafe yang dia sebutkan tadi. Tak lama kemudian, handphone Winara pun berbunyi, pertanda ada panggilan dari seseorang.

"Wa'alaikumussalam, iya Tante, masuk aja. Nara duduk di bagian paling sudut cafe ini di meja nomor 11," jelasnya.

"Winara?" tanya seorang wanita paruh baya yang tiba-tiba saja menghampirinya dengan handphone yang berada di telinganya.

"Eh, Tante Syifa?" tanya Winara memastikan.

"Ah iya," ucapnya yang seketika itu langsung mematikan sambungan telepon mereka dan mulai duduk di hadapan gadis itu.

"Tante mau pesan apa?" tanya Winara dengan ramahnya.

"Cokelat dingin aja," jawab wanita yang bernama Syifa tersebut.

"Baiklah. Em ... Mbak!" panggil Winara pada salah satu pelayan cafe ini.

"Iya Kak, ada yang bisa dibantu?" tanya pelayan tersebut.

"Em ... cokelat dingin satu lagi, ya."

"Oh, baik Kak, ditunggu sebentar, ya. Permisi!" Dan pelayan itupun akhirnya pergi dari sana.

"Bagaimana dengan Zidan, Nak?" tanya Syifa dengan wajah sendunya.

"Dia sudah tidak apa-apa, Tante. Tadi, juga udah diperiksa sama dokter, sesuai dengan permintaan Tante tadi."

"Makasih, Nak" ucap Syifa seraya menggenggam tangan Winara yang berada di atas meja.

"Eh, buat apa Tante?" tanya Winara dengan herannya.

"Mungkin, kalau kamu gak ada, Zidan pasti tidak akan baik-baik saja, Nak" jelas Syifa.

Mendengar hal itu, Winara pun tersenyum, lalu membalas genggaman tangan Syifa. "Tidak apa-apa Tante, ini udah jadi tugas Nara yang seminggu ini menjadi pendamping Haidar dalam pengenalan lingkungan sekolahnya."

"Permisi! Ini pesanannya, Kak. Selamat menikmati!" ucap pelayan cafe ini yang tiba-tiba saja datang.

"Eh iya, terima kasih, Mbak!" Dan pelayan itupun pergi dari sana, meninggalkan Syifa bersama dengan Winara.

"Oh iya, Nara boleh nanya sesuatu sama Tante?" tanya Winara terlihat hati-hati.

"Ya, kamu mau nanya apa?" tanya Syifa.

"Sebenarnya, Zidan punya riwayat penyakit apa Tante?" tanyanya dengan sedikit tidak enakkan.

Mendengar itu, Syifa seketika tersenyum kecut akan hal itu. "Sudah dua tahun Zidan memiliki penyakit jantung koroner. Awalnya, waktu itu saya gak yakin, jika Zidan memiliki penyakit itu. Tapi, lambat laun, Zidan selalu terlihat kesakitan ketika dia terlalu kelelahan di hari-harinya. Namun, seberapa merasa sakitnya dia, dia tidak pernah mau mengatakannya pada siapapun. Bahkan, pada saya sendiri yang merupakan ibunya. Suatu ketika, di saat saya membersihkan kamarnya, tiba-tiba saya menemukan sebuah surat keterangan dari dokter. Dan itu benar-benar membuat saya begitu rapuh dan ...." Syifa yang menceritakan semuanya itupun seketika meneteskan air matanya tanpa sadar. Winara yang melihat Syifa begitu terpukul akhirnya bangkit dari duduknya dan memeluk wanita paruh baya itu dengan hangatnya. Mencoba untuk memberikan kekuatan untuk wanita berkarier tersebut.

"Udah, kalau Tante gak sanggup buat lanjutin gak pa-pa, Nara paham kok. Intinya, Tante jangan sedih, Tante harus yakin, kalau Haidar pasti akan baik-baik aja," ucap Winara mencoba untuk menenangkan Syifa. Dengan begitu lemahnya, Syifa pun membalas pelukan gadis itu.

"Makasih, Nak."

Pertama untuk Terakhir (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang