#Part-22#

40 7 0
                                    

Setelah lama di perjalanan, akhirnya mereka berdua pun telah sampai di rumahnya Winara.

Sebuah mobil vajero putih pun terparkir di halaman rumahnya, menandakan jika Sang Ayah sudah pulang saat ini. Alhasil, membuat Winara semakin ragu untuk memasuki rumahnya itu.

"Sya, ayo!" ajak Haidar mengejutkan Winara yang tak hentinya berpikir.

"Dar, gak usah. Kamu pulang saja," tolak Winara dengan wajah khawatirnya.

"Enggak, Sya. Aku gak mau lihat kamu kaya gini terus," tolak balik Haidar.

"Ta-tapi, aku gak mau-"

"Sya, gue jamin gak bakalan terjadi apa-apa," hiburnya menenangkan Winara.

Tanpa menunggu respon apapun dari Winara, Haidar langsung saja mendahului langkahnya Winara menuju teras rumah gadis itu.

"Haidar, enggak usah!" ujar Winara seraya menghalangi langkah Haidar yang ingin membuka pintu rumahnya Winara. Namun, bukan Haidar namanya jika tidak mengikuti kemauannya sendiri.

Nyit!!!

Pintu rumah itupun terbuka, menampilkan langsung ruang tamu yang tengah dihuni oleh beberapa orang. Dan itu, spontan menampilkan ekspresi keterkejutan dari mereka semua, kecuali Haidar.

Winara yang tidak menyangka dengan tindakan Haidar pun seketika langsung berbalik badan, dia menatap ketakutan ke dalam ruang tamu itu. Terlebih lagi, ketika pandangannya tertuju pada wanita paruh baya yang dia sebut sebagai 'Oma', ibunya Wino.

"Haidar, kamu pulang saja!" bisik Winara yang semakin cemas.

"Assalamu'alaikum!" salamnya tanpa mempedulikan kecemasan Winara.

"Wa'alaikumussalam," jawab mereka semua dengan tatapan tajam, terutama Wino dan Omanya Winara—Ririn.

"Siapa dia?" tanya Wino dengan wajah masamnya.

"Haidar, aku mohon! Pergilah!" pinta Winara lagi dengan berbisik. Namun, Haidar sama sekali terlihat tidak acuh.

"Maaf Om, saya Haidar Andreas Zidan. Mungkin, Om dan Tante mengenal saya dari gadis yang sudah menjadi putri kalian di rumah ini," jawab Haidar yang masih saja terlihat tenang. Berbeda dengan Winara yang mendesak Haidar untuk segera pergi.

"Nara! Masuk kamu!" perintah Wino dengan tegasnya. Dan itu sangat membuat Winara ketakutan. Jujur, untuk saat ini dia tak mampu lagi untuk menatap siapapun.

Dengan langkah berat, Winara terpaksa meninggalkan ruangan itu dan menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Dia pun hanya mampu menangis tatkala menuju kamarnya.

Berbeda dengan Winara, namun Haidar masih saja terlihat tenang akan situasi yang jelas-jelas mencekam. Bahkan, dengan ekspresi tanpa dosa dia menyalami semua keluarga Winara yang berada di ruang tamu itu.

"Siapa kamu sebenarnya, Nak?" tanya Anara dengan menahan isakannya. Dia takut, jika Winara melakukan apa yang tidak diinginkannya selama ini.

"Zidan, Tan. Saya adalah kembarannya Gaby," jawab Haidar dengan lembutnya.

"Tidak! Saya yakin kamu berbohong bukan? Gaby sudah lama mencari kembarannya, tetapi dia tidak pernah menemukannya. Dan kamu bukanlah Zidan yang Gaby cari, tetapi pria yang ingin membuat putri saya rusak, bukan?" sela Wino yang diakhiri oleh smirknya.

"Soal percaya atau tidaknya, itu adalah keputusan untuk kalian semua. Namun, saya di sini hanya ingin menyampaikan pada kalian. Winara adalah anak kalian. Dia juga butuh namanya kasih sayang dan keadilan. Bahkan, untuk saat ini dia mungkin lebih menginginkan ayahnya untuk memeluknya."

"Siapa kamu? Jangan menjadi orang yang lebih tahu akan keluarga saya!" bentak Wino dengan tatapan marahnya.

"Saya memang bukan siapa-siapa, selain kembaran dari gadis yang sudah kalian anggap sebagai putri kalian sendiri, namun kalian melupakan putri kandung kalian sendiri. Tetapi, saya sebagai anak yang pernah memiliki beribu harapan seperti Winara, maka saya tidak akan membiarkan dia terus meneteskan air matanya."

"Hei, anak muda! Apakah orang tuamu tidak pernah mengajarkanmu sopan santun?" tanya Ririn dengan murka.

"Maaf, Nek. Saya di sini hanya ingin memperbaiki semuanya tanpa ada menyinggung bagaimana orang tua saya mendidik saya," balas Haidar yang hampir saja tersulut emosi.

"Apa yang ingin kamu perbaiki, ha? Semuanya baik-baik saja, hanya karena kalian berdua semuanya menjadi seperti ini!" bentak Ririn.

"Sepertinya ada kesalah pahaman di sini, Nek. Winara dan saya tidak pernah memiliki hubungan apapun selain pertemanan. Dan-"

"Jika itu memang benar, maka akui saja. Saya juga tidak peduli. Anak itu memang seperti tidak ada gunanya sama sekali!" ucap Wino dengan menahan amarahnya. Lalu, dia beranjak dari sana tanpa peduli akan Haidar yang sangat ingin menyela perkataan Wino.

"Tidak! Itu semua tidak benar! Saya-" ucap Haidar terpotong, di saat Wino telah sampai di lantai dua dan meneriaki Winara agar keluar.

"Nara! Keluar kamu!" teriaknya seraya menggedor-gedor pintu kamarnya Winara.

Selang beberapa saat kemudian, Winara keluar dari kamarnya dengan tangisan yang masih saja hadir.

Tanpa diduga, Wino langsung saja mencengkram erat tangannya Winara dan menyeret gadis itu ke lantai dasar dengan paksa. Dan itu spontan membuat semua orang terkejut, kecuali Ririn.

"Hiks ... Pa, sa ... kit ...," rintihnya seraya berusaha melepaskan cengkraman Wino. Namun, sama sekali tidak berhasil.

"Om, dengarkan saya!" ucap Haidar berusaha untuk menghentikan aksi Wino.

Tanpa mempedulikan Haidar, Wino langsung saja menyeret Winara ke kamar mandi yang berada dekat dengan dapur.

"Mas ...," lirih Anara yang saat ini telah menangis akan tindakan suaminya.

"Om! Dengarkan saya! Saya mohon, jangan sakiti Winara lagi!" ucapnya memohon. Namun, Wino sama sekali tidak peduli. Dia terus saja menyeret Winara masuk ke dalam kamar mandi itu dan membawa gadis itu ke bawah shower, lalu menghempaskan tubuh Winara dengan kuatnya, hingga membuat Winara terjatuh dan tak kuasa menahan tangisannya. Lalu, Wino pun mulai menghidupkan shower itu. Mengguyuri pakai kusut Winara, hingga membuat gadis itu menggigil kedinginan. Namun, tak ada yang peduli selain Haidar yang terus berusaha menghentikan aksi Wino. Dan begitu juga dengan Anara yang berusaha untuk menyeret putrinya dari bawah shower itu, namun sama sekali tidak dipedulikan oleh Winara.

Terlihat jelas saat ini Winara benar-benar sudah pasrah akan apa yang terjadi. Dia benar-benar sudah tidak bertenaga lagi untuk bangkit dari bawah guyuran shower ini. Mangkanya, dengan bertumpukan lututnya, Winara hanya mampu menangis di lantai itu.

"Saya peringatkan kamu! Ini adalah terakhir kalinya saya berbicara denganmu! Sekali saja kamu tidak membuat saya malu seperti ini apakah tidak bisa, ha? Sampai kapan kamu tidak bisa seperti adikmu? Sekali saja, buat saya bangga, Nara! Bukan membuat saya malu!" bentak Wino di saat dia telah menghentikan aliran air shower itu.

"Om!" sela Haidar dengan penuh amarah. Ini benar-benar sudah di luaran batas menurutnya.

"Dia itu putri, Om. Jika Om tahu apa yang sudah putri Om peroleh selama ini, mungkin Om tidak akan seperti ini. Dia sudah berusaha beberapa kali untuk menjadi putri yang Om harapkan. Tetapi, Om sendiri yang berkali-kali sudah meruntuhkan semangatnya. Tanpa Om sadari, udah berpuluhan penghargaan yang dia dapatkan! Dan ... ingat satu hal ini, Om. Tanpa bantuan dari putri yang Om anggap sama sekali tidak ada gunanya ini, keluarga saya tidak akan pernah menjadi seperti sekarang. Dan kembaran saya mungkin juga tidak akan pernah mendapatkan kasih sayang apapun dari kalian. Lihatlah! Betapa sudah berjasanya gadis ini, tetapi disia-siakan oleh keluarganya sendiri. Jika kalian memang sudah muak dengannya, maka katakan. Jangan menyiksa dia dengan beribu luka seperti ini. Bahkan, JIKA KALIAN MEMANG SUDAH TIDAK MENGANGGAP DIA BAGIAN DARI KELUARGA INI,MAKA IZINKAN SAYA UNTUK MEMBAWA DIA KEMBALI KE RUMAH SAYA. KARENA DI SANA DIA AKAN LEBIH MENDAPATKAN KASIH SAYANG YANG DIA INGINKAN SELAMA INI!" ucap Haidar yang diakhiri oleh ketegasan.

"Diam!!!"

Pertama untuk Terakhir (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang