#Part-5#

49 9 0
                                    

Waktu terus berlalu, hingga akhirnya siang pun berganti akan malam. Saat ini Winara tengah asik menikmati makan malamnya bersama dengan keluarga kecilnya.

"Ma, Pa, besok Della ada lomba di sekolah. Mama dan Papa datang, ya!" ucap Della dengan begitu antusiasnya, setelah makanan yang berada di hadapannya habis.

"Memang Della ikut lomba apalagi, Nak?" tanya Wino yang juga telah selesai akan makan malamnya.

"Della mau ikut lomba nyanyi, Pa. Pihak sekolah meminta Della buat jadi perwakilan dari sekolah Della."

"Ooh ... anak Papa memang hebat. In Syaa Allah, besok kalau Papa ada waktu, Papa bakalan sempatin diri buat hadir untuk kamu, sayang" ucap Wino seraya mengelus lembut kepala putrinya. Winara yang melihat keakraban antara anak dan ayah itupun hanya bisa tersenyum kecut. Belum pernah sepertinya dia mendapatkan perhatian seperti itu dari ayahnya. Sedangkan, Anara hanya mampu tersenyum haru akan momen ayah dan putri itu.

"Ma, Pa, aku ke kamar duluan, ya. Good night!" Tanpa menunggu respon dari siapapun, Winara langsung saja beranjak dari duduknya dan menuju kamarnya. Mereka semua yang melihat kepergian Winara begitu saja hanya mampu menjawab perkataan gadis itu tanpa ada pertanyaan di benaknya. Sedangkan, setibanya di kamar, Winara langsung menitikkan air matanya.

Bukan dia merasa tak dianggap, tapi dia hanya iri dengan kasih sayang yang diberikan ayahnya kepada Della tak sebanding dengan kasih sayang yang diberikan ayahnya untuk dirinya.

Dengan helaan napas yang kasar, Winara mengusap pipinya dengan kasar, lalu menutup pintu kamarnya dan beranjak ke atas ranjangnya. Membaringkan tubuhnya, lalu menyelimuti setengah tubuhnya.

Ting!

Belum sempat dia akan memejamkan matanya, tiba-tiba sebuah notifikasi masuk dari handphone-nya. Tanpa menunggu lama, langsung saja Winara meraih handphone-nya yang berada di atas nakasnya itu.

Zefro-Ketos
P
     21.00

Ra, gimana dengan pengenalan lingkungan anak baru itu? Lancar?

21.01

Hm ... Ya, gitulah. Harus butuh kesabaran.

21.02✓✓

Semangat! Gue yakin, lo pasti bisa menjalankan tugas ini, mangkanya gue minta lo yang gantiin gue. And sorry banget, jika gue harus ngerepotin lo.

21.03

No problem, gpp.

21.04✓✓

Setelah itu, Winara pun mematikan ponselnya dan mengembalikannya lagi ke atas nakas. Kembali dia memajamkan matanya. Namun, sebelum mata itu benar-benar terpejam, samar-samar dia mendengar deringan ponsel dari suatu tempat, membuat matanya kembali terbuka sempurnya.

Dan tentu saja, itu bukan suara deringan handphone-nya. Lalu, deringan handphone siapa itu? Dan di saat itulah ingatannya beralih pada kejadian tadi siang di ruang OSIS.

Tanpa aba-aba, Winara langsung saja bangkit dari posisinya dan menghampiri tasnya yang berada di atas kursi belajarnya. Mencoba untuk mencari sesuatu dari dalam tasnya itu. Dan membuat suara deringan telepon itu menjadi semakin keras di saat dia menemukan sebuah handphone di dalam tasnya.

Dengan ragu-ragu Winara menekan panel hijau pada bagian layar handphone itu. Dia berpikir, jika telepon ini tidak diangkat, mungkin ini sangat penting. Tapi, jika dia angkat, mungkin ini akan terlihat tidak sopan. Tapi ...

"Ha-"

"Zidan! Kamu di mana, ha? Cepat pulang! Please! Jangan buat Mama dan papa marah lagi. Mama udah lelah, Zidan. Kapan sih, kamu mau berubah, ha? Sampai kapan kamu akan membangkang seperti ini?" Belum sempat Winara menyapa panggilan itu, namun suara bentakanlah yang Winara dengar, serta sedikit isakan yang sengaja disembunyikan.

"Mama mohon! Malam ini Mama kau kamu pulang ke rumah! Zidan? Nak, Mama tunggu kamu di rumah."

Tut ... tut ... tut ...

Akhirnya sambungan telepon itupun terputus. Namun, tidak dengan keterkejutan yang Winara dapatkan. Ada apa sebenarnya yang terjadi pada siswa itu, kenapa orang tuanya berkata seolah-olah siswa itu tidak pernah pulang ke rumahnya.

Dengan berjuta pertanyaan di dalam benaknya, akhirnya Winara memutuskan diri untuk mengembalikan handphone itu ke dalam tasnya dan menghampiri kasurnya. Membaringkan tubuhnya, serta mulai memejamkan matanya dengan berbagai paksaan, sebab pikiran yang masih tertuju akan kejadian tadi.

...

Waktu pun berlalu dengan pagi yang tak pernah berubah. Dan saat ini, Winara sudah berada di dalam kelasnya. Dia terlihat seperti tengah menunggu seseorang, namun tak kunjung datang.

Di saat seorang siswa yang tak lain adalah Haidar masuk ke dalam kelasnya, langsung saja gadis itu menghadang langkah siswa tersebut. Membuat Haidar menjadi tersentak akan langkahnya.

"Lo?" ucap Haidar dengan kesalnya yang terlihat ingin marah, namun dia urungkan.

"Ada apalagi, sih?" tanya Haidar dengan malasnya.

"Nih, handphone kamu saya balikin. Dan soal hafalan kamu, bisa kamu ansur-ansur." Haidar yang tiba-tiba disodorkan handphone miliknya itu seketika membuat alisnya menjadi terangkat sebelah.

"Huh, why? Lo gak sanggup buat ngejaga itu handphone?" ujarnya terdengar mengejek.

"Terserah, yang jelas saya cuma mau balikin ini handphone. Dan untuk hafalan kamu, saya tunggu." Karena Haidar tak kunjung mengambil handphone-nya dari tangan Winara, akhirnya gadis itupun meletakkan handphone siswa itu di atas meja yang berada di dekat mereka. Dan setelah itu, Winara pun pergi meninggalkan Haidar bersama dengan kelasnya.

Tanpa disadari, ternyata hal tersebut sudah menjadi tontonan dan buah bibir bagi anak kelas ini. Bahkan, ada yang sampai mengabadikan momen tersebut di dalam handphone.

Winara benar-benar merasa kesal saat ini. Dengan begitu, dia memutuskan diri untuk menuju toilet siswi, guna mencuci wajahnya.

Sesampainya di toilet, Winara langsung saja menghampiri wastafel dan menghidupkan kran air, lalu membasuh wajahnya dengan air tersebut. Di saat dia melakukan aktivitas itu, tiba-tiba saja dia mendengar perkataan beberapa siswi yang baru saja masuk ke dalam toilet itu.

"Eh, lo tau gak?"

"Enggak, kenapa memang?"

"Tadi, gue ngeliat si Haidar, anak baru itu loh, di sebuah tongkrongan."

"What?"

"Iya, dan tadi itu gue liat dia pas kaya baru bangun gitu, soalnya gak pakai seragam and rambutnya acak-acakan."

"Kalau kaya gitu, bisa aja dari semalam dia di sana, gak sih?"

"Hm ... kayanya."

Winara yang mendengar hal itu langsung saja menghampiri kedua siswi itu. "Maaf, tadi saya dengar pembicaraan kalian. Btw, kalau saya boleh tau, tempat kamu melihat si Haidar tadi di mana?" tanya Winara dengan hati-hati.

"Kenapa memangnya, Ra?"

"Gak ada apa-apa, sih. Tapi, kalau kalian  gak mau kasih tau juga gak pa-pa. Makasih sebelumnya." Winara pun meninggalkan kedua siswi itu. Namun, belum sempat Winara melanjutkan langkahnya, salah satu siswi itu menghentikan langkahnya.

"Em ... di jalan ***. Seingat gue namanya itu, di bascame geng motor, dan gue lupa apa nama geng motornya," ucap siswi itu.

"Oke, terima kasih sebelumnya. Saya duluan, ya. Permisi!" Dan akhirnya, barulah Winara benar-benar pergi dari sana dengan beribu pertanyaan di benaknya dan menuju kelasnya kembali.

Pertama untuk Terakhir (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang