#Part-19#

42 8 1
                                    

Hari-hari telah berlalu. Dan saat ini tepat menjadi dua minggu setelah kejadian sebelumnya.

Sama seperti pagi yang biasanya, Winara pergi sendiri dengan motor Scoopy-nya. Walau trauma itu masih ada, namun Winara harus mampu melawannya. Jika tidak, maka Winara sendiri yang bakalan rugi.

Sesampainya di sekolah, Winara langsung saja masuk ke dalam kelasnya itu, menaruh tasnya di kelas, lalu pergi ke kantin dengan handphone yang dia selipkan di dalam saku.

"Ra!" panggil Zena yang saat ini telah duduk bersama dengan yang lainnya.

Langsung saja Winara menuju meja teman-temannya itu dan menduduki dirinya di sana.

"Mau pesan apa, Ra?" tanya Gita.

"Em, nasi goreng aja deh, kebetulan lagi lapar," ucapnya.

"Em ... okay. Aku pesan dulu, ya." Lalu, Gita dan Queen pun pergi meninggalkan teman-temannya itu dan beralih memesan makanan untuk teman-temannya itu.

"Ra, gimana keadaannya Haidar?" tanya Vioni dengan antusias.

"Alhamdulillah kemarin udah mulai membaik. Dan kalau gak salah, kemarin kata dokter hari ini dia sudah boleh pulang," jelas Winara.

"Ooh ... berarti beberapa hari lagi Haidar bakalan sekolah, kan?" ucap Zena terlihat bahagia.

"Hm," jawab Winara dengan singkat.

"Ra, lo yakin kan gak ada hubungan apa-apa dengan Haidar?" tanya Anayra mengintimidasi.

Sejenak Winara terdiam. "Ya enggaklah, kalian kan tau sendiri tujuan aku selama ini membantu dia buat apa. Dan ingat, kami gak pernah ada hubungan apa-apa pun."

"Em ... syukur deh, jadi peluang buat gue dapatin dia makin besar," timpal Vioni dengan senangnya.

"Enak aja, Haidar gak cocok sama lo, dia cocoknya sama gue!" potong Zena dengan percaya dirinya.

"Udah-udah! Gue gak nyuruh kalian berantem," potong Anayra dengan cepat, sebelum Vioni menyambungi ucapannya Zena. Winara yang melihat hal itupun hanya bisa geleng-geleng kepala akan hal itu.

"Sya!" Tiba-tiba saja, seorang siswa memanggil Winara dari arah belakangnya.

Sontak, Winara membalikkan badannya menghadap ke arah sumber suara. Bahkan, bukan hanya Winara, namun juga mereka semua—teman-temannya Winara.

"Haidar?" lirih Winara disaat panca inderanya menangkap sosok Haidar yang tengah berjalan ke arahnya bersama dengan teman-temannya.

"Sya, kemarin buku kamu ketinggalan," ucapnya seraya menyerahkan buku berukuran kecil itu, seperti buku diary.

Betapa terkejutnya Winara di saat buku itu disodorkan ke arahnya. Dengan ragu dia pun mengambil buku itu.

"Em ... makasih," ucapnya yang terlihat sedikit khawatir. Dan Haidar pun hanya mengangguk akan hal itu.

"Kita boleh duduk di sini, kan?" tanya Felix yang langsung saja duduk di sebelahnya  Zena, tepatnya di hadapan Winara.

"Ih, lo kalau mau duduk jangan nyosor dulu bisa gak, sih!" bentak Zena seketika  dan langsung menggeser duduknya, menjauh dari Felix.

"Ih, Ayang kok ngomongnya kaya gitu?" ucap Felix mendramatis.

Plak!

"Lo sebenarnya mau gebet siapa sih? Heran gue. Gak Winara, gak temannya, lo embat mulu," frustasi Gibran. Felix yang baru saja dipukul oleh sahabatnya itu langsung saja menatap tajam Gibran.

"Suka-suka gue lah, itu juga bukan salah gue, ngapain mereka berdua harus sama-sama cantik, kan gue jadi pengen memiliki," cerocos Felix tanpa dosa. Dan setelah dia berbicara seperti itu, satu lentingan karet menuju mulus di keningnya. Membuat siswa itu langsung menggerutu marah. Namun, saat mengetahui siapa yang melakukannya, dia langsung saja cengiran tidak jelas.

"Mampus lo, udah tau Winara gak suka sama lo, masih aja mau lo embat. Nanti pawangnya marah, lo nangis!" ejek Gibran dengan tawa renyahnya dan itu membuat semuanya tertawa, kecuali Winara dan Haidar.

"Pesanan datang!" teriak Gita dengan santainya.

"Eh, loh kenapa ada mas ganteng di sini? Emang lo udah sembuh?" terkejutnya Queen di saat melihat kehadiran Haidar di sebelahnya Winara dengan jarak sekitar 30 sentimeter.

"OMG!" teriak Gita dengan senangnya, dan langsung meletakkan nampan yang berisikan pesanan teman-temannya di atas meja.

Haidar yang menyaksikan itupun hanya mampu mendelik tidak suka.

"Huh, apalah daya gue yang lebih tampan daripada Haidar, namun tidak diakui oleh cewek kalangan berselera rendah," timpal Felix lagi dengan santainya.

"Astaghfirullah! Gue lupa, ternyata ada musang di sini," ucap Gita yang langsung saja membagikan pesanan teman-temannya itu.

"Heh! Lo ngatain gue?" bentak Felix spontan.

"Gak, tadi ada musang lewat, kasihan gue liatnya. Kaya belum makan selama satu minggu, kurus banget." Spontan, Felix langsung menatap dirinya sendiri, lalu beralih menatap tajam semua yang ada di sana, karena tengah menertawai dirinya. "Iya, ketawain aja terus!" ucapnya dengan kesal.

"Udah sarapan?" tanya Winara kepada siswa yang berada di sampingnya itu.

"Udah, tadi gue sarapan di rumah," jawabnya tak mengalihkan pandangan dari gadgetnya.

"Ooh ... mau coba?" tawarnya.

"Enggak, lo habisin aja. Gue yakin, lo belum sarapan, kan?" tolaknya yang masih fokus dengan benda pipih itu.

"Hm ... okay," ucapnya.

"Cie!!!" sorak mereka semua ketika mendapati pemandangan di hadapan mereka saat ini.

Mereka yang merasa tengah diejek itupun seketika menoleh. Dan terlihatlah wajah-wajah ejekan di sana.

"Kalau mau ngobrol, jangan berbisik-bisik juga kali Ra, kami siap kok jadi penonton setia," sindir Zena dan diakhiri gelak tawa oleh semuanya, kecuali mereka berdua tentunya. Dan hal itu cukup membuat Winara dan Haidar mendelik kesal, namun mereka tahan.

Selanjutnya, mereka pun menikmati makanan mereka masing-masing sampai habis dengan diselingi candaan receh dari teman-temannya Haidar dan Winara.

Sampai akhirnya, bel masuk pun berbunyi.

"Eh, udah bel. Balik ke kelas, yuk!" ajak Anayra kepada semua teman-temannya itu.

"Yaudah, yuk!" setuju Zena dan diangguki oleh semuanya. Dan pada akhirnya mereka semua pun beranjak ke kelas mereka masing-masing.

Di saat Winara hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba saja lengan bajunya di tarik oleh Haidar, membuat langkah Winara terhenti sejenak.

"Sya, mama tadi nyuruh lo buat ke rumah. Mama ingin ngajakin lo makan siang bareng di rumah. And nanti lo pulangnya bareng gue aja," ucap Haidar yang sudah melepaskan tarikan itu.

"Em, ta-tapi-"

"Nanti biar gue yang antarin lo sampai rumah. Gue yang minta izin ke ortu lo."

"Tapi, aku bawa motor, Dar."

"Nanti biar gue minta tolong anak motor buat antarin motor lo ke rumah, lo tinggal kirimin alamat rumah lo."

"Gak!" tolok Winara dengan cepat.

"Terus, lo mau kena marah sama papa lo?" tanya Haidar seraya menaikkan sebelah alisnya.

"Sya, gue udah tau semuanya. Gaby udah cerita semuanya sama gue. Jadi, lo gak perlu khawatir lagi, gue bakalan selalu ada buat lo. Sama seperti lo yang menyatukan gue dengan keluarga gue."

"Dar, kayanya kita harus ke kelas." Tanpa menunggu respon Haidar, gadis itu langsung saja berlalu dari hadapan Haidar bersamaan dengan buku diary yang dia pangku.

"Sya, lo adalah permata indah yang harus gue jaga. Lo gak bakalan gue biarin buat sendirian mulai dari sekarang. Sebab, lo sudah terlalu sering membantu gue. Lo satu-satunya perempuan yang pernah gue temuin dengan cara yang berbeda."

Pertama untuk Terakhir (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang